Sabtu, 28 Februari 2009

Pidato Deklarasi Revolusi Ekonomi


  SAATNYA REVOLUSI EKONOMI


Assalamu ’alaium Wr. Wb.
Yang terhormat,para narasumber, undangan dan para wartawan yang kami cintai

Saat ini, Indonesia sedang diperhadapkan dua persoalan utama, Pertama, secara global kita diperhadapkan adanya resesi ekonomi. Suka atau tidak suka, resesi akan menggilas ratusan juta kaum miskin dunia. Pengangguran semakin banyak teronggok, angka kriminalitas terdongkrak, kemelaratan merona wajah kehidupan, perilaku irasionalitas semakin tinggi, dan berbagai kesadisan patologi sosial.

Kedua, di dalam negeri, tahun ini adalah tahun politik. Sebentar lagi bangsa Indonesia menghadapi Pemilu. Persengketaan antar elite politik sudah panas. Namun sayang, rentetan siklus kepemimpinan nasional yang terjadi, belum mampu mengangkat harkat, martabat, dan kesejahteraan rakyat. Kontras dari itu, kesejahteraan elite politik dan pemilik modal kian tergenjot tinggi. Tampaknya, sirkulasi kepemimpinan nasional hanya memproduksi kesenjangan dan disparitas yang menganga lebar. Akhirnya, rakyat bertanya, apa hasil gonjang-ganjing politik elite selama ini?

Rentetan persoalan di atas ujungnya sama-sama mengorbankan rakyat. Liberalisasi ekonomi dan politik tanpa kendali telah mengubah wajah kebangsaan kita. Karakter kebangsaan menjadi hilang di telan oleh kerakusan liberalisasi ekonomi dan politik. Cilakanya, pemimpin bangsa sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi ini, tidak menyadari bahwa kita sudah kehilangan karakter dan roh kebangsaan. Kita sudah menyerahkan bangsa ini kepada kepentingan pihak asing dan pemilik modal. Di bidang ekonomi, kita tidak punya kedaulatan untuk mengurus dan mengelola aset dan ekonomi. Sementara di bidang politik, akibat liberalisasi politik, penguasa uang telah mengisi kantong-kantong penentu kebijakan nasional.

Saudara-saudara yang kami hormati,
Saat ini, rona wajah kehidupan mondial telah berubah. Globalisasi dengan karakter khasnya liberalisasi ekonomi telah memakan mangsanya. Gajah dilepas dan dibiarkan beradu, yang mati adalah semut-semut. Kerapkali para gajah berselingkuh, tapi tetap saja semut-semut teraniaya. Dalam pertarungan perang gajah di satu sisi, dan di sisi lain semut-semut masih mengeloni mental budaknya alias mental inlander serta merta para semut pun tidak pernah menjeriti nasibnya. Para semut sudah mulai malas dan pelit memikirkan bagaimana melakukan revolusi sosial ekonomi untuk keluar dari mental perbudakan. Mereka fatalis melihat dunia ini, menyerahkan ”takdirnya” pada kerakusan sang gajah, alias penguasa dan pemilik modal.

Saat ini, revolusi ekonomi sesungguhnya mendapatkan momentum yang tepat. Tapi para inlander, lagi-lagi tidak pernah sadar untuk ”mengamuk kolektif” menggugat kemapanan tatanan mondial. Saat ini dunia telah dan sedang terjerumus pada krisis finansial global. Panen pengangguran dan kemiskinan akan tiba lebih cepat. Bukan saja di negara-negara semut bertengger kemiskinan dan pengangguran bertumpuk, tapi di seantero global segera akan terkapar. 

Kepincangan ekonomi global merupakan biang krisis global. Kerakusan negara-negara kaya terhadap sirkulasi finansial global telah menjerumuskan ekonomi dunia ke jurang yang dalam. Tapi, lagi-lagi negara-negara miskin dan berkembang, nyaris tidak berani mengatakan ”tidak” pada negara-negara kaya. Akhirnya, tatanan dunia global dibiarkan berjalan rakus.

Di sisi lain, di negeri kita, kerakusan juga dibiarkan. Tidak pernah kita berani mengatakan revolusi terhadap kerakusan struktural. Inilah yang membuat kita tidak pernah merebut kemerdekaan yang sejati. Dari dulu sampai sekarang proses ekonomi nasional masih saja mengandung ciri proses yang eksploitatif. Dimulai secara sistematis pada zaman kolonial Belanda, yang kemudian dikenal dengan sistem tanam paksa. Suatu pengeksploiatasian besar-besaran yang berimplikasi sangat buruk terhadap ekonomi rakyat Indonesia.

Dan nampaknya perekonomian bangsa Indonesia saat ini seperti mendaur ulang sejarah lama. Kondisi nasionalisme ekonominya telah kehilangan esensi. Ironisnya, hanya menjadi simbol pragmatis yang mengatasnamakan Indonesia. Tidak memiliki keterkaitan yang kuat dengan kepentingan mayoritas bangsa.

Penguasa dan segelintir pemilik modal berpesta pora menikmati sumber daya alam kita yang berlimpah.Hutan dibabat habis,laut dan isi perut bumi dikuras. Sekarang kemanakah lari uangnya. Kita nyaris tidak punya apa-apa selain hutang yang harus kita wariskan kepada anak cucu kita.

Lebih seratus juta rakyat kita masih bergelimang dengan kemiskinan.Bukan tiga puluh lima juta seperti yang sering disampaikan oleh pemerintah. Munculnya angka tiga puluh lima juta tersebut didasari standart kemiskinan yang dibuat sangat rendah yaitu sebesar satu dolar Amerika. Dalam pandangan kami satu dolar adalah standar yang tidak manusiawi dan sangat merendahkan derajat serta martabat bangsa kita sendiri. Makhluk Tuhan yang kita pelihara dirumah-rumah kita saja,kebutuhan hidupnya bahkan lebih satu dolar perhari.

Kemerdekaan bukan untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri, tetapi kemerdekaan adalah merupakan syarat untuk melakukan koreksi yang fundamental dalam tatanan sosial dan tatanan hubungan ekonomi di dalam masyarakat. Dalam hal ini Bung Hatta juga mengatakan bahwa kedudukan soal usaha ekonomi dalam masyarakat perlu untuk dipersoalkan. Sebagian kaum produsen dan kaum konsumen yang terbesar terdiri dari bangsa kita. Akan tetapi, kaum distributor justru dikuasai bangsa asing. Inilah yang satu pokok penting yang menjadi sebab kelemahan ekonomi rakyat kita.

Menurut Bung Hatta keadaan ekonomi rakyat yang begitu melarat tidak dapat ditolong dengan mengadakan bank partikulir dengan cap “nasional”. Tapi keadaan itu hanya dapat diperbaiki berangsur-angsur dengan memberi susunan kepada produksi dan konsumen rakyat.

Saudara-saudara yang kami hormati, 

Ujung dari revolusi ekonomi adalah rakyat harus mandiri. Kemandirian rakyat tidak boleh begitu saja diserahkan kepada mekanisme pasar. Karena pasar hanya ramah terhadap pelaku usaha yang sudah kuat tetapi sangat kejam terhadap usaha-usaha kecil yang dilakoni oleh sebahagian besar rakyat kita. Oleh karenanya rakyat harus diproteksi dan dirangsang untuk terus berdaulat. Bangsa Indonesia akan berkarakter jika kedaulatan rakyat terpenuhi dan kedaulatan rakyat akan terpenuhi jika kemandirian rakyat terjamin. 

Cukup jelas bahwa kemandirian merupakan prasyarakat untuk keluar dari ketergantungan dari pihak manapun termasuk dari pihak imprealisme asing. Kemandirian akan membuat bangsa memiliki kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan pihak manapun. Kekuatan tawar menawar kita akan sangat diperhitungkan. Bangsa yang kerdil adalah bangsa yang suka dimain-mainkan oleh berbagai kekuatan asing, yang ujung-ujungnya akan mengeksploitasi bangsa. Besarya utang luar negeri kita misalnya, merupakan instrumen untuk mengutak-atik eksistensi bangsa yang berdaulat.

Ketergantungan yang sedemikian besar akan membuat bangsa kita tidak bebas bergerak. Semuanya ditentukan oleh “kemauan baik” pihak asing. Banyak bukti menunjukkan bahwa, bangsa Indonesia bertekuk-lutut pada kepentingan asing,yang berarti segala-galanya ditentukan oleh asing. Imam bangsa bukan siapa-siapa, tapi bangsa asing yang menentukan rukuk-sujudnya bangsa kita. Itulah yang sangat mengerikan.

Selain itu hubungan ketergantungan terhadap pihak asing telah pula menghasilkan keputusan untuk menerapkan teknologi produksi yang tidak berorientasi kepada penciptaan kesempatan kerja. Sementara itu di sektor pertanian sesungguhnya tersedia secara berlimpah tenaga kerja yang sudah berakumulasi jumlahnya akibat kurangnya penyerapan yang memadai pada masa yang lampau, dibanding bertambahnya angkatan kerja di sektor itu setiap tahunnya. Masuknya teknologi produksi yang tidak pro buruh tersebut ke dalam program pembangunan pertanian, memang telah mampu menaikkan hasil pertanian, khususnya beras. 

Namun, bersamaan dengan itu telah terjadi pula pengalihan surplus ekonomi kepada produsen mesin dan alat-alat pertanian di negara maju, produsen pupuk kimia, pestisida baik di dalam maupun luar negeri, serta distributor pupuk dan pestisida. Surplus ekonomi diperkirakan diperoleh pula oleh para birokrat, perbankan, pelaksanaan lapangan, tuan tanah -- sebagai komprador dan aliansi pihak asing --, yang kesemuanya ikut secara langsung mengantarkan dan melaksanakan produksi yang tidak pro buruh ini di sektor pertanian tradisional.  

Berdasar peta keakutan kondisi sosial ekonomi itulah, kami, Komite Revolusi Ekonomi Indonesia sebagai bagian komponen bangsa merasa memiliki tanggungjawab moral dalam memperbaiki struktur ekonomi nasional. Dalam kaitan itu, Deklarasi terhadap pentingnya langkah-langkah konkret dan terlembaga dalam menyusun agenda penyelamatan ekonomi bangsa melalui Revolusi Ekonomi.

Untuk itu, Komite Revolusi Ekonomi telah menyiapkan agenda program aksi antara lain:

1. Melakukan kajian intensif melalui diskusi dan riset berkaitan pembangunan ekonomi yang berkarakter Indonesia.

2. Melakukan kampanye atau sosialisasi ke publik tentang arti pentingnya revolusi ekonomi untuk kepentingan kemaslahatan rakyat.

3. Merumuskan agenda dan matriks program yang fokus dan terukur dalam aksi revolusi ekonomi.

Demikian pidato singkat kami, semoga kedaulatan dan kemaslahatan rakyat segera bisa dipenuhi.
Merdeka
  Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 24 Februari 2009

Komite Revolusi Ekonomi (revolusiekonomi.blogspot.com)

  Nazwar Nazaruddin (Ketua)
  Agung Mozin (Sekjen)
  Mukhaer Pakkanna (Wakil Sekjen)
  Farid Fathoni AF (Wakil Sekjen)


Rabu, 07 Januari 2009

INDUSTRIALISASI DAN EKSPLOITASI ASING

Proses industrialisasi di Indonesia seperti yang banyak terjadi di dunia ketiga, jelas adalah proses industrialisasi berdasarkan pola Barat yang tidak berlandaskan realitas-realitas sosial yang ada di Indonesia. Proses ini dengan sifatnya yang tergantung kepada masukan impor, telah membuka pase dan bentuk baru dalam sector “enclave” di Indonesia, yaitu sector ekonomi yang pada hakekatnya “terasing” dari kehidupan massa rakyat. Keterasingan ini dapat dilihat dari penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan mereka (dilihat dari porsi jumlah golongan pendapatan tinggi, industri-industri moderen ini lebih melayani kebutuhan golongan pendapatan tinggi), maupun dari segi penyebaran, ketrampilan yang dapat menimbulkan mibilitas sosial.
Dalam proses pembinaan dan perluasan “enclave” baru ini melalui industrilisasi, ada pandangan yang melihat proses ekonomi Indonesia sebagai lanjutan dari proses yang sudah di bina oleh pemerintah kolonial Belanda melalui pelaksanaan Cultuurstelsel (tanam paksa) dan pengarahan modal swasta Belanda dan asing lainnya dalam sector perkebunan komoditi primer dan pertambangan yang merupakan dua bentuk “enclave” dalam zaman penjajahan Belanda. Culutuurstelsel telah membina secara paksa pembentukan sector perkebunan tanaman ekspor yang merupakan pase pertama proses pembentukan secara sistematis sector “enclave” di Indonesia. Perluasan perkebunan besar di Jawa dan Sumatera Timur sesudah Cultuurstelsel berakhir, adalah pase kedua.
Selanjutnya muncul proses industrialisasi yang sangat bergantung kepada impor dalam masukan produksinya, serta proses yang lebih intensif dalam eksploitasi sumber-sumber alam, yang merupakan ciri pokok dari pase ketiga pembentukan sector enclave di Indonesia. Pase ketiga ini selain merupakan lanjutan dari pase-pase sebelumnya yang dipelopori oleh bangsa Indonesia sendiri untuk membedakannya dari pase-pase sebelumnya yang dipelopori oleh bangsa asing. Sejarah ekonomi Indonesia sampai saat sekarang ini, dalam pandangan ini, boleh dikatakan merupakan sejarah pertumbuhan sector enclave dan belum merupakan pertumbuhan ekonomi massa rakyat. Strategi dan rangkaian kebijaksanaan ekonomi yang dianut dan di jalankan pada kenyataannya adalah strategi dan rangkaian kebijaksanaan ekonomi yang memperkuat keseluruhan sector enclave ini.
Sektor enclave yang disebut di atas, berorientasi ke luar negeri ditinjau dari sudut masukan dan permintaan untuk eksploitasi bahan mentah dan energi. Ia berorientasi pula kepada luar negeri di dalam pola produksi dan tata niaga, yang khususnya menopang pemasaran hasil industri dan pertumbuhan ekonomi dan gaya hidup masyarakat negara maju. Pembentukan sector enclave ini, serta upaya untuk menumbuhkan sector ini kemudian, dilakukan dengan cara pembiayaan dari luar negeri. Ia berupa investasi asing secara langsung maupun berupa pinjaman luar negeri untuk membiayai prasarana bagi memudahkan dan menopong pertumbuhan sector-sektor ini. Perkembangan yang terjadi di Indonesia, adalah seperti yang telah dialami pula oleh banyak negara-negara Dunia Ketiga, yakni:

1. Disparitas pendapatan di antara sector moderen di mana sebagian kecil rakyat berada dengan sector pertanian tradisional dimana sebagian besar rakyat berada dan menggantungkan hidupnya, menjadi bertambah lebar. Ketidak merataan dalam distribusi pendapatanpun berambah lebar bersama dengan tersisihnya sebagian rakyat dari proses pembangunan dalam pengertian mereka tidak turut dalam proses dan menikmati hasil pertumbuhan ekonomi.
2. Oleh karena system produksi di sector-sektor enclave yang telah dijadikan sebagai leading sectors bersifat padat modal, maka surplus tenaga kerja yang terdapat di sector pertanian tradisional tidak dapat di tampung secara berarti apabila setelah memperhatikan matinya banyak industri rakyat sebagai akibat dinamik industrialisasi di sector moderen. Porsi nilai tambah sector pertanian dalam Produk Domestik Bruto atau Produk Nasional Bruto yang kemudian menurun tidaklah dapat dikatakan sebagai pertanda “transformasi” dalam struktur ekonomi seperti yang dimaksudkan dalam literatur ekonomi pembangunan oleh karena situasi ini tidak diikuti oleh menaiknya produktivitas per pekerja di sector pertanian dan juga tidak diikuti dengan adanya suatu mobilitas sosial yang dialami oleh para pekerja yang setempat tertampung dalam sector industri. Masalah ini terjadi, karena pada hakekatnya mereka ditampung dalam apa yang disebut secondary labour market (pasar tenaga kerja yang sekunder) yaitu pasar tenaga kerja denga upah yang rendah, ketrampilan yang rendah dan prospek karier yang tidak menentu. Ini sejajar dengan salah satu motif bagi masuknya modal asing untuk tujuan investasi di sector industri yaitu untuk memperoleh buruh murah.

Peranan pembiayaan luar negeri baik yang berupa modal asing untuk tujuan investasi langsung maupun pinjaman luar negeri adalah untuk menutupi foreign exchage gap yang didasarkan kepada two gap model yang telah disodorkan oleh beberapa sarjana ekonomi Barat. Dalam hal ini, maka keseluruhan modal luar negeri ini telah berfungsi untuk membiayai surplus impor dalam perkiraan yang sedang berjalan (current account) dalam neraca pembayaran.
Dalam situasi peranan yang seperti ini, maka Indonesia sengaja maupun tidak, telah membuka secara luas kesempatan bagi pihak asing untuk melaksakan operasi monopoly price, yaitu penentuan harga secara sepihak sehingga defisit dalam perkiraan yang sedang berjalan dalam neraca pembayaran berlangsung terus-menerus, yang mengakibatkan perlunya Indonesia untuk menambah hutang secara terus menerus pula.

VOC GAYA BARU

Dalam bukunya “Mencapai Indonesia Merdeka (Terbitan Idayu, 1982, hal. 15), Bung Karno memaparkan, bahwa imprealisme dilahirkan oleh kapitalisme. Imprealisme adalah anaknya kapitalisme. Imprealisme tua dilahirkan oleh kapitalisme tua, imprealisme modern dilahirkan oleh kapitalisme modern. Sedang kapitalisme tua belum kenal akan tempat-tempat pekerjaan sebagai sekarang, belum kenal pabrik-pabrik sebagai sekarang, belum kenal cara produksi sebagai sekarang, -- sedang kapitalisme tua itu cara produksinya hanya kecil-kecilan sahaja dan di dalam segala-galanya berwatak kuno, maka kapitalisme modern adalah menunjukkan kemoderenan yang hebat sekali; tempat-tempat pekerjaan yang ramainya menulikan telinga, pabrik-pabrik yang asapnya menggelapkan angkasa, bank-bank yang tingginya mencakar langit, perburuhan yang memakai ribuan ketian kaum proletar, pembikinan barang yang tidak lagi menurut banyaknya pesanan, tetapi pembikinan barang yang hantam kromo banyaknya sampai bergudang-gudang.

Bung Karno menambahkan, bahwa untuk menggugurkan stelsel kapitalisme dan imprealisme, syarat pertama ialah, kita harus merdeka. Selama masyarakat belum merdeka, selama itu juga kita belum leluasa menggerakkan kita punya badan, kita punya tangan, kita punya kaki, selama kita dus masih terhalang di dalam segala kita punya gerak bangkit.

Cukup jelas bahwa kemandirian – dalam bahasa perjuangan Bung Karno disebut kemerdekaan – merupakan prasyarakat untuk keluar dari ketergantungan imprealisme baru pihak asing. Kemandirian akan membuat bangsa memiliki kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan pihak manapun. Kekuatan tawar menawar kita akan sangat diperhitungkan. Bangsa yang kerdil adalah bangsa yang suka dimain-mainkan oleh berbagai kekuatan asing, yang ujung-ujungnya akan mengeksploitasi bangsa. Besarya utang luar negeri kita misalnya, merupakan instrumen untuk mengutak-atik eksistensi bangsa yang berdaulat.

Utang luar negeri yang besar, selain memerosotkan kemandirian bangsa, juga merupakan bentuk penghisapan yang bisa dilihat pada besarnya net transfer. Net transfer yaitu persoalan yang timbul akibat negative inflow sumber-sumber keuangan oleh karena nilai cicilan plus bunga utang luar negeri lebih besar dari nilai utang baru yang diterima pihak donatur. Selain itu telah terjadi pula proses merosotnya nilai satuan (unit value) dan nilai tukar (terms of trade) produk-produk ekspor dari negara berkembang. Inilah yang dikenal sebutan fenomena Fisher Paradox.

Konsekuensi dari penghisapan surplus ini menimbulkan efek negatif terhadap tingkat tabungan di dalam negeri, karena utang luar negeri akan mensubstitusikan tabungan domestik (domestic saving). Kalaupun tidak, maka pemerintah akan mengintensifkan penerimaan pajak, dan jelas berkonsekuensi terhambatnya kegiatan investasi, dan menyebabkan pelarian modal kembali. Lebih jauh, dengan pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri akan mengalihkan dana yang dapat digunakan sebagai investasi domestik akibat pembayaran kembali. Muaranya adalah, roda perekonomian nasional tetap tidak bisa bergerak karena dana habis dikuras, dan ini berarti merupakan jebakan (debt-trap) yang tidak berujung.

Ketergantungan yang sedemikian besar akan membuat bangsa kita tidak bebas bergerak. Semuanya ditentukan oleh “kemauan baik” pihak asing. Banyak bukti menunjukkan bahwa, bangsa Indonesia bertekuk-lutut pada kepentingan asing yang berarti segala-galanya ditentukan oleh asing. Imam bangsa bukan siapa-siapa, tapi bangsa asing yang menentukan rukuk-sujudnya bangsa kita. Itulah yang sangat mengerikan.

Selain itu hubungan ketergantungan terhadap pihak asing telah pula menghasilkan keputusan untuk menerapkan teknologi produksi yang tidak berorientasi kepada penciptaan kesempatan kerja. Sementara itu di sektor pertanian sesungguhnya tersedia secara berlimpah tenaga kerja yang sudah berakumulasi jumlahnya akibat kurangnya penyerapan yang memadai pada masa yang lampau, dibanding bertambahnya angkatan kerja di sektor itu setiap tahunnya. Masuknya teknologi produksi yang tidak pro buruh tersebut ke dalam program pembangunan pertanian, memang telah mampu menaikkan hasil pertanian, khususnya beras. Namun, bersama dengan itu telah terjadi pula pengalihan surplus ekonomi kepada produsen mesin dan alat-alat pertanian di negara maju, produsen pupuk kimia pestisida di dalam maupun luar negeri, serta distributor pupuk dan pestisida. Surplus ekonomi diperkirakan diperoleh pula oleh para birokrat, perbankan, pelaksanaan lapangan, tuan tanah -- sebagai komprador dan aliansi pihak asing --, yang kesemuanya ikut secara langsung mengantarkan dan melaksanakan produksi yang tidak pro buruh ini di sektor pertanian tradisional.

Dalam perkembangan mutakhir sekarang ini, imprealisme baru muncul lagi dalam wajah baru, yakni dalam bentuk revolusi teknologi informasi. Besarnya perang pihak negara-negara maju dalam dunia teknologi informasi ini akan bisa mengontrol dan menguasai sumberdaya-sumberdaya potensial di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Revolusi teknologi informasi telah menciptakan disparitas sosial, yang memungkinkan mereka yang memonopli revolusi teknologi informasi akan mudah mendominasi negara-negara miskin.

Mukhaer Pakkanna

Tanggapan

Untuk Mas Yandi Hermawanidi.

Kami kira dalam konteks Indonesia saat ini, revolusi ekonomi meniscayakan perubahan secara by design. Pergantian menteri dan pejabat seperti yang saudara inginkan hanya bersifat sesaat. Pergantian personil dalam rezim ekonomi memang diakui bisa menyelesaikan ”sedikit” masalah. Karena person sangat menentukan kebijakan. Tapi, dalam jangka panjang, pergantian personil tanpa diiringi perubahan sistem secara radikal dan by design, memberi peluang kembalinya sistem lama yang justru bisa menjerumuskan dan mengeksploitasi rakyat.

Persoalan utama ekonomi bangsa adalah distribusi. Kita yang punya produksi, kita yang punya konsumsi, tapi kita tidak berdaulat dalam kekuatan distribusi. Padahal penguasaan kekayaan justru ada pada rantai distribusi. Penguasa jaringan supermarket global misalnya, yang merambah pelosok negeri mengindikasikan kita bertekuk-lutut pada kapitalis asing pemilik jaringan supermarket.

Jaringan distribusi global baik beroperasi pada pasar riil, finansial, dan portfolio diback-up oleh kekuatan negara-negara maju. Penguasaan ini bersifat struktural. Sehingga memotong jaringan distribusi global sama artinya mengganggu kepentingan negara kapitalis maju. Untuk mengawetkan kepentingan kapitalis asing, diperlukan komparador. Menteri-menteri ekonomi yang bercokol saat ini adalah produk komparador. Sehingga kami setuju, perlu perombakan menter-menteri bidang ekonomi dan keuangan. Tapi, jauh lebih penting melakukan revolusi sistem ekonomi sehingga sistem komparador bisa hilang. Kita harus kembali pada kekuatan domestik kita. Mari membangun kekuatan jaringan distribusi yang berdiri di atas kedaulatan domestik.

MP

Senin, 22 Desember 2008

Pengantar: KEHARUSAN REVOLUSI EKONOMI

Tatkala kolonialisme memangsa kita, bangsa hidup dalam perilaku perbudakan. Pada zaman kompeni asing menguasai, semua gerak-gerik kita diatur bangsa asing. Terjadi hierarki sosial dalam politik divide et empira. Struktur sosial hancur lebur, dan kemudian elite sosial yang diberi priviledge oleh kompeni tersanjung karena terjadi “perselingkuhan” antara kompeni dengan struktur elite sosial. Rakyat kemudian menderita, dan sistem tanam paksa serta kerja rodi menjadi trade mark kolonialisme.

Perilaku memuakkan itu telah mendarahdaging. Sampai-sampai puluhan tahun usai bangsa Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai negara merdeka, mental budak dan mental menjajah (baca: mental ”perselingkuhan”) masih terlihat secara telanjang di depan mata kita. Sejatinya, proklamsi 17 Agustus 1945 merupakan entry point untuk menyatakan sayonara terhadap mental budak dan mental menjajah. Akan tetapi, proklamasi tampaknya hanya sebatas dimaknai revolusi merebut kemerdekaan dari tangan asing. Jepang dan Belanda pun hengkang dari negeri pertiwi ini, tapi perbudakan tetap saja mengalir bahkan kian menjadi-jadi dewasa ini.

Bung Karno dan Bung Hatta serta the founding fathers, sesungguhnya sudah membuat blue-print membangun bangsa Indonesia. Sungguh sangat elok formulasi Pancasila dan UUD 1945 yang disusun oleh beliau-beliau. The faunding fathers paham betul bahwa diperlukan revolusi simultan. Bung Karno menyatakan revolusi kita adalah satu revolusi simultan. Sekali lagi: Revolusi kita adalah satu revolusi simultan. Harus serentak-sekaligus-bersama-sama, artinya sekarang ini kita menjalankan, ya revolusi nasional, ya revolusi politik, ya revolusi ekonomi, ya revolusi sosial, ya revolusi kulturil, kebudayaan, ya revolusi membuat manusia baru, ya revolusi di dalam segala hal.

Formula Revolusi

Kendati the founding fathers sudah membuat formula revolusi, tapi waktu terus bergulir, irama dan ritme kehidupan kerap menjerumuskan bangsa ke dalam jurang yang sesungguhnya telah menghilangkan karakter bangsa. Akhirnya, revolusi terdeviasi. Padahal revolusi dimaknai sebagai perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat.

Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat by design or not by design. Dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama.

Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru. Revolusi senantiasa berkaitan dengan dialektika, logika, romantika, menjebol dan membangun. Dalam rumusan Karl Marx, dialektika revolusi adalah suatu usaha menuju perubahan menuju kemaslahatan rakyat yang ditunjang oleh beragam faktor. Tidak hanya figur pemimpin, namun juga segenap elemen perjuangan beserta sarananya.

Logika revolusi merupakan bagaimana revolusi dapat dilaksanakan berdasarkan suatu perhitungan mapan, bahwa revolusi tidak bisa dipercepat atau diperlambat, ia akan datang pada waktunya. Kader-kader revolusi harus dibangun sedemikian rupa dengan kesadaran kelas dan kondisi nyata di sekelilingnya. Romantika revolusi merupakan nilai-nilai dari revolusi, beserta kenangan dan kebesarannya, di mana ia dibangun. Romantika ini menyangkut pemahaman historis dan bagaimana ia disandingkan dengan pencapaian terbesar revolusi, yaitu kemaslahatan rakyat.
Sejarah modern mencatat dan mengambil rujukan revolusi mula-mula pada Revolusi Perancis, kemudian Revolusi Amerika. Namun, Revolusi Amerika lebih merupakan sebuah pemberontakan untuk mendapatkan kemerdekaan nasional, ketimbang sebuah revolusi masyarakat yang bersifat domestik seperti pada Revolusi Perancis. Begitu juga dengan revolusi pada kasus perang kemerdekaan Vietnam dan Indonesia.
Karakter kekerasan pada ciri revolusi dipahami sebagai sebagai akibat dari situasi ketika perubahan tata nilai dan norma yang mendadak telah menimbulkan kekosongan nilai dan norma yang dianut masyarakat.
Penghianatan Revolusi

Wajah mondial telah berubah. Globalisasi dengan karakter khasnya liberalisasi ekonomi telah memakan mangsanya. Gajah dilepas dan dibiarkan beradu, yang mati adalah semut-semut. Kerapkali para gajah berselingkuh, tapi tetap saja semut-semut teraniaya. Dalam pertarungan perang gajah di satu sisi, dan di sisi lain semut-semut masih mengeloni mental budaknya alias mental inlander serta merta para semut pun tidak pernah menjeriti nasibnya. Para semut sudah mulai malas dan pelit memikirkan bagaimana melakukan revolusi ekonomi untuk keluar dari mental perbudakan. Mereka fatalis melihat dunia.

Saat ini, revolusi ekonomi sesungguhnya mendapatkan momentum yang tepat. Tapi para inlander, lagi-lagi tidak pernah sadar untuk ”mengamuk” secara kolektif untuk menggugat tatanan mondial. Saat ini dunia telah dan sedang terjerumus pada krisis finansial global. Panen pengangguran dan kemiskinan akan tiba lebih cepat. Bukan saja di negara-negara semut bertengger kemiskinan dan pengangguran bertumpuk, tapi di seantero global segera akan terkapar.

Kepincangan ekonomi global merupakan biang krisis global. Kerakusan negara-negara kaya terhadap sirkulasi finansial global telah menjerumuskan ekonomi dunia ke jurang yang dalam. Tapi, lagi-lagi negara-negara miskin dan berkembang, nyaris tidak berani mentakan ”tidak” pada negara kaya. Revolusi ekonomi yang akan mengubah tatanan dunia global dibiarkan berjalan rakus.

Di sisi lain, di negeri kita, kerakusan juga dibiarkan. Tidak pernah kita berani mengatakan revolusi terhadap kerakusan struktural. Inilah yang membuat kita tidak pernah merebut kemerdekaan yang sejati. Kata Sritua Arif, dari dulu sampai sekarang proses ekonomi nasional masih saja mengandung ciri proses yang eksploitatif. Dimulai secara sistematis pada zaman kolonial Belanda, yang kemudian dikenal dengan sistem tanam paksa. Suatu pengeksploiatasian besar-besaran yang berimplikasi sangat buruk terhadap ekonomi rakyat Indonesia.

Dan nampaknya perekonomian bangsa Indonesia saat ini seperti mengulang sejarah lama. Kondisi nasionalisme ekonominya telah kehilangan esensi. Ironisnya, hanya menjadi simbol pragmatis yang mengatasnamakan Indonesia. Tidak memiliki keterkaitan yang kuat dengan kepentingan mayoritas bangsa.

Kemerdekaan bukan untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri, tetapi kemerdekaan adalah merupakan syarat untuk melakukan koreksi yang fundamental dalam tatanan sosial dan tatanan hubungan ekonomi di dalam masyarakat. Dalam hal ini Hatta juga mengatakan bahwa kedudukan soal usaha ekonomi dalam masyarakat perlu untuk dipersoalkan. Sebagian kaum produsen dan kaum konsumen yang terbesar terdiri dari bangsa kita. Akan tetapi, kaum distributor justru dikuasai bangsa asing. Inilah yang satu pokok penting yang menjadi sebab kelemahan ekonomi rakyat kita.

Menurut Hatta keadaan ekonomi rakyat yang begitu melarat tidak dapat ditolong dengan mengadakan bank partikulir dengan cap “nasional”. Tapi keadaan itu hanya dapat diperbaiki berangsur-angsur dengan memberi susunan kepada produksi dan konsumen rakyat.

Mukhaer Pakkanna

KEARIFAN EKONOMI LOKAL

Sinyal resesi yang menghantui ekonomi global telah memaksa banyak negara berpaling dan menengok ekonomi domestiknya. Tepat apa yang dikatakan Joan Robinson, ekonom strukturalis, bahwa dalam perdagangan bebas akan menjerumuskan negara-negara berkembang ke posisi terpukul oleh karena nasionalisme merupkan motif dasar setiap aktor ekonomi internasional. “The very nature of economics is rooted in nationalism” (Robinson, 1982).

Sebagai penganut rezim devisa bebas, Indonesia sadar atau tidak, telah hanyut dalam cengkraman arus liberalisasi ekonomi global. Konsekuensinya, di tengah krisis ekonomi global dengan titik episentrumnya krisis keuangan Amerika, Indonesia justru terhempas jatuh. Buktinya, kurs rupiah lunglai di tengah rebound-nya mata uang negara-negara tetangga dan negara maju. Demikian juga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus terpukul.

Ini mengindikasikan bahwa fundamental ekonomi Indonesia sangat volatile. Maka, terjadilah external shock, yang membuat kondisi ekonomi dalam negeri sangat rapuh. Padahal secara geoekonomi, Indonesia memiliki social capital yang sungguh kaya dan disertai bentangan sumberdaya alam yang masih melimpah untuk mengokohkan ekonomi nasional. Tapi, mengapa modal geoekonomi itu tidak dioptimalkan dalam menguatkan ekonomi nasional?

Kearifan Lokal
Pengembangan ekonomi nasional sejatinya membangun ekonomi lokal. Ekonomi nasional bisa berjalan kokoh dan berkesinambungan di atas pondasi ekonomi lokal yang kuat. Sementara ekonomi lokal bisa teguh berdiri di atas kokohnya kearifan lokal (local wisdom). Karena itu dibutuhkan penguatan ekonomi nasional disokong kuatnya kearifan ekonomi lokal.

Kearifan, menurut Sternberg dalam Why Schools Teach for Wisdom: The Balance Theory of Wisdom in Educational Settings (Mahpur, 2008), menyebutkan bahwa kearifan dapat dijelaskan dalam cakupan Tacit Knowledge (TK). TK merupakan jantungnya kearifan. Ia adalah pengetahuan informal yang tidak diajarkan disekolah, seperti tradisi di mana pengetahuan formal dipelajari dan diprioritaskan. Kearifan akan memediasi nilai yang disokong kinerja inteligensi praktis.

Kearifan lokal berarti sebuah sistem dalam tatanan kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi dan lingkungan yang hidup di dalam masyarakat lokal. Karakter khas yang inherent dalam kearifan lokal yakni sifatnya dinamis, kontinyu dan diikat dalam komunitasnya.

Karena itu, dalam kearifan lokal dikenal adanya sanksi bagi anggota masyarakat yang dianggap melanggar tata kehidupan yang disepakati. Jadi, kearifan lokal merupakan common-sense bagi masyarakatnya. Intinya, dalam kearifan lokal mengejawantah dalam bentuk seperangkat aturan, pengetahuan dan ketrampilan serta tata nilai dan etika yang mengatur tatanan sosial komunitas yang terus hidup dan berkembang dari generasi ke generasi.

Dalam kasus kearifan ekonomi lokal, pola kerja lembaga keuangan mikro (LKM) yang selama ini dilakukan masyarakat di Kabupaten Gianyar Bali menjadi contoh menarik. Dalam studi Lincolin Arsyad (2008) menyebutkan dalam membangun ekonomi lokal, dibutuhkan kearifan lokal. Karena itu, keberhasilan LKM di Gianyar karena mampu memadukan kearifan lokal yang bersifat informal dan tata kelola LKM melalui pendekatan formal. Pendekatan informal melalui penguatan nilai, norma dan sanksi sosial. Pola ini sejatinya sudah bersemayam dalam kearifan lokal di berbagai kehidupan masyarakat lokal di beberapa daerah lain. Sementara pendekatan formal melalui membangun tata kelola LKM yang mencakup organisasi, prosedur rekruitmen, mekanisme simpan pinjam, dan sistem renumerasi.

Pola pengembangan LKM Gianyar ini ternyata telah berhasil mengakselerasi peningkatan PDRB Gianyar dan mampu memacu pembangunan ekonomi lokal melalui peningkatan kebiasaan menabung, menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan tingkat monetisasi di masyarakat lokal.

Membangun Ekonomi Lokal
Pola Gianyar menjadi kasus menarik bagaimana pengembangan masyarakat (community development) perlu memperhatikan pengetahuan dasar masyarakat asli secara historis dan sosio-budaya. Dan bagaimana pengetahuan itu membentuk pengalaman. Tatkala pengalaman dan pengetahuan historis ini dicoba dipaksakan niscaya pengetahuan dan komunitas lokal kerap tersingkir sebagai kelompok marjinal. Sebagai misal, masyarakat Badui di Banten, Samin Sedulur Sikep di Pati dan Bojonegoro (Fauzan, 2005), suku Dayak di Kalimantan, suku Tengger di Malang dan Probolinggo.

Pada intinya, pengembangan masyarakat harus memperhatikan realitas informal kearifan lokal. Alih-alih transfer dana dari pusat ke daerah terus meningkat, misalnya dari semula Rp129,7 triliun (2004) menjadi Rp292,4 (APBN-P 2008) serta pada APBN 2009 digenjot lagi menjadi Rp303,9 triliun, dalam realitasnya alokasi dana itu belum mampu mengoptimalisasi dan menstimulasi ekonomi lokal. Persoalannya, alokasi dana dari pusat dan daerah dalam rangka penguatan ekonomi lokal kurang menyentuh pengetahuan dasar masyarakat asli.

Dalam konteks itulah, pendekatan informal dan formal seperti yang dilakukan di Gianyar bisa menjadi solusi. Solusi itulah yang membuat budaya pertanian Subak di Bali yang merupakan warisan budaya, basis pertanian, yang mengenal tradisi palemahan, pawongan dan parahyangan memicu peningkatan kesejahteraan masyarakat pertanian. Demikian juga pada kasus tradisi perahu Sendeq suku Mandar di Sulawesi Barat, telah menstimulasi peningkatan ekonomi masyarakat nelayan. Lautan yang dalam merupakan halaman rumah-rumah suku Mandar. Begitu mereka bangun dari tidur langsung disapa gemuruh air laut dan dibelai semburan angin laut. Kondisi inilah yang mengajarkan masyarakat Mandar untuk beradaptasi dan survival membangun ekonominya secara kontinyu.

Nyaris mirip suku Mandar, kehidupan nelayan Desa Bendar Juwana Pati Jawa Tengah juga memiliki pola yang sangat kreatif mengembangkan kearifan lokal ekonominya. Hubungan kekerabatan, gotong royong, dan persaudaraan menjadi titik pijak membangun komunitasnya. Bahkan, kaum perempuan dilibatkan dalam proses produksi dan penjualan hasil tangkap. Dan yang lebih penting hilangnya ”linta darat” diganti pola lembaga keuangan sederhana yang didasarkan sistem bagi hasil.

Realitas seperti itulah, meneguhkan kearifan ekonomi lokal untuk terus dikembangkan. Namun, perlu pendekatan formal yang tidak mencerabut keaslian pengetahuan dasar masyarakat lokal. Setidaknya perlu dilakukan, pertama, membangun institusi ekonomi lokal. Secara teoritik, salah satu stimulasi pengembangan ekonomi masyarakat adalah institusi yang baik, termasuk unsur kearifan lokal sebagai salah satu basis rule of the game. Keberhasilan pola LKM di Gianyar dan Desa Benda Juwana dengan pengembangan lembaga kredit mikronya menguatkan peran kearifan lokal ini dalam penerapan aturan main pada institusi sebagai modal sosial.
Kedua, perlunya political will pemerintah untuk melakukan kemitraan dengan kelompok-kelompok pendamping masyarakat lokal. Pola penggelontoran dana yang galib dilakukan pemerintah selama ini tanpa mempertimbangkan faktor sosial-budaya lokal diyakini akan memboroskan anggaran negara. Dalam konteks itulah, pendekatan ”proyek” harus digantikan dengan pendekatan partisipatif yang berjalan berkesinambungan.
Koentjaraningrat (1994) menegaskan harus digali nilai kearifan lokal sebagai praktik dinamika dalam mendorong mentalitas membangun, niscaya ia akan merangkai capaian membangsa sebagai semangat kreatifitas, tanggung jawab, pencapaian kebahagiaan masa depan yang dihidupi oleh mentalitas lokal. Sprit inilah yang akan memacu penguatan ekonomi nasional di atas kokohnya kearifan ekonomi lokal. Semoga’. Mukhaer Pakkanna

EKONOMI TANPA ”JENIS KELAMIN”

Bagaimanapun beratnya kesengsaraan yang menyelimuti rakyat, pemerintah tetap tidak beringsut memutuskan kenaikan harga BBM pada akhir Mei 2008 lalu. Pemerintah kemudian berdalih mengkompensasikan besaran subsidi untuk rakyat sebanyak Rp 34,5 triliun, termasuk BLT, KUR, subsidi transportasi massal dan cadangan risiko fiskal. Besaran alokasi subsidi itu ditambah lagi alokasi anggaran dari APBN 2008 sebesar Rp 60 triliun untuk penanggulangan kemiskinan. Besarnya subsidi tersebut belum termasuk alokasi anggaran di beberapa instansi/departemen yang berkaitan program kemiskinan.

Trend menunjukkan sejak pemerintah SBY-JK alokasi anggaran untuk penanggulan kemiskinan terus meningkat, pada 2004 berjumlah Rp18 triliun dengan jumlah orang miskin 36,1 juta jiwa, pada 2005 berjumlah Rp23 triliun dengan jumlah orang miskin 35,1 juta jiwa, pada 2006 berjumlah Rp42 triliun dengan jumlah orang miskin 39,3 juta jiwa dan pada 2007 anggaran berjumlah Rp51 triliun dengan jumlah penduduk miskin 37,2 juta jiwa.

Peningkatan anggaran penanggulan kemiskinan tampaknya tidak ekuivalen dengan meningkatnya jumlah orang miskin. Secara sepintas, besaran anggaran itu memperlihatkan bahwa Indonesia termasuk negara pro-poor, yang secara kategoris diidentikan sebagai negara pembela orang miskin. Nyaris tidak satu pun negara di Asia Tenggara, atau negara-negara yang menganut aliran sosialis sekalipun yang secara signifikan terus meningkatkan anggaran untuk orang miskin. Namun, besaran itu ternyata tidak serta merta menstimulasi menurun-drastisnya jumlah orang miskin, bahkan semakin bertambah. Demikian juga, jumlah penggangguran yang semakin eskalatif.

Tanpa Identitas
Sejatinya, perekonomian nasional lahir dari jenis “kelamin” yang jelas dan tegas, sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 ayat 1 UUD 1945, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Selanjutnya ayat 2 menyebutkan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. The founding fathers tatkala itu paham betul “bisikan hati rakyat” bahwa perkonomian Indonesia harus didasarkan pada “kebersamaan” (mutual endeavour) dan “kekeluargaan” (brotherhood). Sehingga tidak heran, jika yang dianggap bangunan ekonomi yang cocok bagi rakyat Indonesia adalah bangunan ekonomi kerakyatan, yang salah satu kelembagaanya dalam bentuk koperasi.

Yang menjadi pertanyaan, apakah gelontoran dana yang tiap tahunnya terus bertambah untuk penanggulangan kemiskinan termasuk dalam makna “kebersamaan” dan “kekeluargaan”? Dalam kasus BLT, yang secara terang-benderang efektifitasnya bagi rakyat sangat rendah dan jumlah dana sangat besar sekitar Rp 19,1 triliun, sangat bias dari makna “kebersamaan” dan “kekeluargaan”. Justru yang terjadi, selain adannya penolakan aparat dalam tingkat teknis penyaluran, social trust antar rakyat semakin menipis. Saling curiga dan tidak percaya antara anggota masyarakat tergerus. Bahkan, BLT dianggap merupakan wujud penghinaan kepada orang miskin karena tidak menstimulasi untuk membangun kesadaran kolektif untuk bekerja dan produktif.

Padahal makna “kebersamaan” dan “kekeluargaan” diartikan sebagai makna demokrasi ekonomi. Dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945 dinyatakan, demokrasi ekonomi ditandai oleh, “dilakukannya produksi oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat”. Mubyarto (2003) menyebutkan, dalam rangka demokrasi ekonomi, semua anggota masyarakat harus turut serta dalam melakukan produksi, turut menikmati hasil-hasilnya, dan yang lebih penting, turut serta dalam mengendalikan berlangsungnya proses produksi dan distribusi. Tidak heran, sejak jauh-jauh hari Bung Hatta mewanti-wanti bahwa, “demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi hanya akan menyebabkan berjayanya kepentingan individu di atas kepentingan orang banyak”.

Desain Kelembagaan

Kemubaziran anggaran negara untuk proyek penanggulangan kemiskinan, terutama pada era SBY-JK lebih bertitik tolak pada lemahnya desain kelembagaan operasional. Justru yang terjadi, seiring dengan proyek penanggulangan kemiskinan yang berwajah “sosialis”, di sisi lain wajah “kapitalis” yang neoliberalistik masih tampak bercokol kuat dalam pemerintahan. Sehingga yang tampak, kebijakan ekonomi berjalan tanpa ideologi demokrasi ekonomi, dan yang muncul kemudian paradigma ekonomi tanpa “jenis kelamin” (tanpa identitas).

Kontradiksi terus berlangsung. Misalnya, beriringan proyek kerakyatan, diagendakan pula bagaimana melakukan privatisasi secara massal BUMN. Pilihan pahit pemerintah untuk mendongkrak harga BBM, jelas merupakan respon bahwa pemerintah “tergagap-gagap” menghadapi kekuatan asing dalam menguasai sumberdaya perminyakan dan gas nasional. Pelaku minyak nasional, sebagai misal, ternyata dikuasai oleh hampir semuanya perusahaan asing. Ini menunjukkan, kedaulatan pengelolaan minyak nasional saja selama puluhan tahun Indonesia tidak sanggup. Pertamina sebagai BUMN terbesar hanya sebagai “macomblang” dari perusahaan asing yang memegang kontrak karya puluhan tahun yang kerapkali mengelambungkan cost recovery.

Dengan data konkret itu, kedaulatan ekonomi nasional sudah tergadai ke pihak asing. Percuma adanya kebijakan subsidi, proteksi dan segala macam proyek penanggulangan kemiskinan, jika identitas ekonomi nasional diserahkan ke pihak kekuatan modal asing. Artinya, Indonesia akan tetap menjadi budak belian di negeri sendiri yang melimpah kekayaan alamnya. Untuk tidak terus menerus berbuat mubazir dalam program penanggulangan kemiskinan, alangkah idealnya, jika, pertama, melakukan negosiasi ulang, bahkan kalau bisa membatalkan berbagai kontrak karya asing yang terus menerus memenjarakan dan merugikan kepentingan ekonomi nasional. Minyak bumi Indonesia dibawa pergi oleh kekuatan modal asing, sementara kita terus menerus impor minyak yang mahal. Dalam teori ekonomi strukturalis diistilahkan sebagai proses berlangsungnya posisi ekspor dan net resources inflow yang negatif. Tentu kebijakan ini harus sejalan dengan ketegasan pemerintah untuk melakukan moratorium debt, karena lebih banyak menguntungkan pihak asing alias terjadi net transfer.

Kedua, dalam konteks mempertegas identitas ekonomi nasional, diperlukan desain kelembagaan ekonomi kerakyatan sehingga dana-dana “proyek” kemiskinan tidak mubazir. Kelembagaan yang penting, intinya adalah, melibatkan rakyat berpartisipasi sehingga terwujud rasa “kebersaamaan” dan “kekeluargaan”. Beri kesempatan rakyat mengatur dananya dalam bentuk arisan ataukah dalam bentuk revolving fund yang terlembaga yang disertai aturan dan sanksi yang jelas dan dibuat oleh rakyat sendiri.
Tidak usah pemerintah terlalu ambisius menggelontorkan dana puluhan triluan rupiah sementara rakyat belum siap melembagakan dirinya. Oleh karena itu, perlu prakondisi dengan melakukan pendampingan dan penyadaran tentang arti kelembagaan ekonomi, seperti bagaimana mengelola koperasi rakyat, sistem jimpitan, lumbung padi, arisan, lembaga keuangan mikro, BMT, dan lainnya. Tumbuhkan kembali semangat kebersamaan dan keluargaan sehingga saling percaya di antara masyarakat kembali tumbuh dengan mozaik yang indah