Sabtu, 28 Februari 2009

Pidato Deklarasi Revolusi Ekonomi


  SAATNYA REVOLUSI EKONOMI


Assalamu ’alaium Wr. Wb.
Yang terhormat,para narasumber, undangan dan para wartawan yang kami cintai

Saat ini, Indonesia sedang diperhadapkan dua persoalan utama, Pertama, secara global kita diperhadapkan adanya resesi ekonomi. Suka atau tidak suka, resesi akan menggilas ratusan juta kaum miskin dunia. Pengangguran semakin banyak teronggok, angka kriminalitas terdongkrak, kemelaratan merona wajah kehidupan, perilaku irasionalitas semakin tinggi, dan berbagai kesadisan patologi sosial.

Kedua, di dalam negeri, tahun ini adalah tahun politik. Sebentar lagi bangsa Indonesia menghadapi Pemilu. Persengketaan antar elite politik sudah panas. Namun sayang, rentetan siklus kepemimpinan nasional yang terjadi, belum mampu mengangkat harkat, martabat, dan kesejahteraan rakyat. Kontras dari itu, kesejahteraan elite politik dan pemilik modal kian tergenjot tinggi. Tampaknya, sirkulasi kepemimpinan nasional hanya memproduksi kesenjangan dan disparitas yang menganga lebar. Akhirnya, rakyat bertanya, apa hasil gonjang-ganjing politik elite selama ini?

Rentetan persoalan di atas ujungnya sama-sama mengorbankan rakyat. Liberalisasi ekonomi dan politik tanpa kendali telah mengubah wajah kebangsaan kita. Karakter kebangsaan menjadi hilang di telan oleh kerakusan liberalisasi ekonomi dan politik. Cilakanya, pemimpin bangsa sejak Orde Baru hingga Orde Reformasi ini, tidak menyadari bahwa kita sudah kehilangan karakter dan roh kebangsaan. Kita sudah menyerahkan bangsa ini kepada kepentingan pihak asing dan pemilik modal. Di bidang ekonomi, kita tidak punya kedaulatan untuk mengurus dan mengelola aset dan ekonomi. Sementara di bidang politik, akibat liberalisasi politik, penguasa uang telah mengisi kantong-kantong penentu kebijakan nasional.

Saudara-saudara yang kami hormati,
Saat ini, rona wajah kehidupan mondial telah berubah. Globalisasi dengan karakter khasnya liberalisasi ekonomi telah memakan mangsanya. Gajah dilepas dan dibiarkan beradu, yang mati adalah semut-semut. Kerapkali para gajah berselingkuh, tapi tetap saja semut-semut teraniaya. Dalam pertarungan perang gajah di satu sisi, dan di sisi lain semut-semut masih mengeloni mental budaknya alias mental inlander serta merta para semut pun tidak pernah menjeriti nasibnya. Para semut sudah mulai malas dan pelit memikirkan bagaimana melakukan revolusi sosial ekonomi untuk keluar dari mental perbudakan. Mereka fatalis melihat dunia ini, menyerahkan ”takdirnya” pada kerakusan sang gajah, alias penguasa dan pemilik modal.

Saat ini, revolusi ekonomi sesungguhnya mendapatkan momentum yang tepat. Tapi para inlander, lagi-lagi tidak pernah sadar untuk ”mengamuk kolektif” menggugat kemapanan tatanan mondial. Saat ini dunia telah dan sedang terjerumus pada krisis finansial global. Panen pengangguran dan kemiskinan akan tiba lebih cepat. Bukan saja di negara-negara semut bertengger kemiskinan dan pengangguran bertumpuk, tapi di seantero global segera akan terkapar. 

Kepincangan ekonomi global merupakan biang krisis global. Kerakusan negara-negara kaya terhadap sirkulasi finansial global telah menjerumuskan ekonomi dunia ke jurang yang dalam. Tapi, lagi-lagi negara-negara miskin dan berkembang, nyaris tidak berani mengatakan ”tidak” pada negara-negara kaya. Akhirnya, tatanan dunia global dibiarkan berjalan rakus.

Di sisi lain, di negeri kita, kerakusan juga dibiarkan. Tidak pernah kita berani mengatakan revolusi terhadap kerakusan struktural. Inilah yang membuat kita tidak pernah merebut kemerdekaan yang sejati. Dari dulu sampai sekarang proses ekonomi nasional masih saja mengandung ciri proses yang eksploitatif. Dimulai secara sistematis pada zaman kolonial Belanda, yang kemudian dikenal dengan sistem tanam paksa. Suatu pengeksploiatasian besar-besaran yang berimplikasi sangat buruk terhadap ekonomi rakyat Indonesia.

Dan nampaknya perekonomian bangsa Indonesia saat ini seperti mendaur ulang sejarah lama. Kondisi nasionalisme ekonominya telah kehilangan esensi. Ironisnya, hanya menjadi simbol pragmatis yang mengatasnamakan Indonesia. Tidak memiliki keterkaitan yang kuat dengan kepentingan mayoritas bangsa.

Penguasa dan segelintir pemilik modal berpesta pora menikmati sumber daya alam kita yang berlimpah.Hutan dibabat habis,laut dan isi perut bumi dikuras. Sekarang kemanakah lari uangnya. Kita nyaris tidak punya apa-apa selain hutang yang harus kita wariskan kepada anak cucu kita.

Lebih seratus juta rakyat kita masih bergelimang dengan kemiskinan.Bukan tiga puluh lima juta seperti yang sering disampaikan oleh pemerintah. Munculnya angka tiga puluh lima juta tersebut didasari standart kemiskinan yang dibuat sangat rendah yaitu sebesar satu dolar Amerika. Dalam pandangan kami satu dolar adalah standar yang tidak manusiawi dan sangat merendahkan derajat serta martabat bangsa kita sendiri. Makhluk Tuhan yang kita pelihara dirumah-rumah kita saja,kebutuhan hidupnya bahkan lebih satu dolar perhari.

Kemerdekaan bukan untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri, tetapi kemerdekaan adalah merupakan syarat untuk melakukan koreksi yang fundamental dalam tatanan sosial dan tatanan hubungan ekonomi di dalam masyarakat. Dalam hal ini Bung Hatta juga mengatakan bahwa kedudukan soal usaha ekonomi dalam masyarakat perlu untuk dipersoalkan. Sebagian kaum produsen dan kaum konsumen yang terbesar terdiri dari bangsa kita. Akan tetapi, kaum distributor justru dikuasai bangsa asing. Inilah yang satu pokok penting yang menjadi sebab kelemahan ekonomi rakyat kita.

Menurut Bung Hatta keadaan ekonomi rakyat yang begitu melarat tidak dapat ditolong dengan mengadakan bank partikulir dengan cap “nasional”. Tapi keadaan itu hanya dapat diperbaiki berangsur-angsur dengan memberi susunan kepada produksi dan konsumen rakyat.

Saudara-saudara yang kami hormati, 

Ujung dari revolusi ekonomi adalah rakyat harus mandiri. Kemandirian rakyat tidak boleh begitu saja diserahkan kepada mekanisme pasar. Karena pasar hanya ramah terhadap pelaku usaha yang sudah kuat tetapi sangat kejam terhadap usaha-usaha kecil yang dilakoni oleh sebahagian besar rakyat kita. Oleh karenanya rakyat harus diproteksi dan dirangsang untuk terus berdaulat. Bangsa Indonesia akan berkarakter jika kedaulatan rakyat terpenuhi dan kedaulatan rakyat akan terpenuhi jika kemandirian rakyat terjamin. 

Cukup jelas bahwa kemandirian merupakan prasyarakat untuk keluar dari ketergantungan dari pihak manapun termasuk dari pihak imprealisme asing. Kemandirian akan membuat bangsa memiliki kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan pihak manapun. Kekuatan tawar menawar kita akan sangat diperhitungkan. Bangsa yang kerdil adalah bangsa yang suka dimain-mainkan oleh berbagai kekuatan asing, yang ujung-ujungnya akan mengeksploitasi bangsa. Besarya utang luar negeri kita misalnya, merupakan instrumen untuk mengutak-atik eksistensi bangsa yang berdaulat.

Ketergantungan yang sedemikian besar akan membuat bangsa kita tidak bebas bergerak. Semuanya ditentukan oleh “kemauan baik” pihak asing. Banyak bukti menunjukkan bahwa, bangsa Indonesia bertekuk-lutut pada kepentingan asing,yang berarti segala-galanya ditentukan oleh asing. Imam bangsa bukan siapa-siapa, tapi bangsa asing yang menentukan rukuk-sujudnya bangsa kita. Itulah yang sangat mengerikan.

Selain itu hubungan ketergantungan terhadap pihak asing telah pula menghasilkan keputusan untuk menerapkan teknologi produksi yang tidak berorientasi kepada penciptaan kesempatan kerja. Sementara itu di sektor pertanian sesungguhnya tersedia secara berlimpah tenaga kerja yang sudah berakumulasi jumlahnya akibat kurangnya penyerapan yang memadai pada masa yang lampau, dibanding bertambahnya angkatan kerja di sektor itu setiap tahunnya. Masuknya teknologi produksi yang tidak pro buruh tersebut ke dalam program pembangunan pertanian, memang telah mampu menaikkan hasil pertanian, khususnya beras. 

Namun, bersamaan dengan itu telah terjadi pula pengalihan surplus ekonomi kepada produsen mesin dan alat-alat pertanian di negara maju, produsen pupuk kimia, pestisida baik di dalam maupun luar negeri, serta distributor pupuk dan pestisida. Surplus ekonomi diperkirakan diperoleh pula oleh para birokrat, perbankan, pelaksanaan lapangan, tuan tanah -- sebagai komprador dan aliansi pihak asing --, yang kesemuanya ikut secara langsung mengantarkan dan melaksanakan produksi yang tidak pro buruh ini di sektor pertanian tradisional.  

Berdasar peta keakutan kondisi sosial ekonomi itulah, kami, Komite Revolusi Ekonomi Indonesia sebagai bagian komponen bangsa merasa memiliki tanggungjawab moral dalam memperbaiki struktur ekonomi nasional. Dalam kaitan itu, Deklarasi terhadap pentingnya langkah-langkah konkret dan terlembaga dalam menyusun agenda penyelamatan ekonomi bangsa melalui Revolusi Ekonomi.

Untuk itu, Komite Revolusi Ekonomi telah menyiapkan agenda program aksi antara lain:

1. Melakukan kajian intensif melalui diskusi dan riset berkaitan pembangunan ekonomi yang berkarakter Indonesia.

2. Melakukan kampanye atau sosialisasi ke publik tentang arti pentingnya revolusi ekonomi untuk kepentingan kemaslahatan rakyat.

3. Merumuskan agenda dan matriks program yang fokus dan terukur dalam aksi revolusi ekonomi.

Demikian pidato singkat kami, semoga kedaulatan dan kemaslahatan rakyat segera bisa dipenuhi.
Merdeka
  Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 24 Februari 2009

Komite Revolusi Ekonomi (revolusiekonomi.blogspot.com)

  Nazwar Nazaruddin (Ketua)
  Agung Mozin (Sekjen)
  Mukhaer Pakkanna (Wakil Sekjen)
  Farid Fathoni AF (Wakil Sekjen)