Senin, 22 Desember 2008

Pengantar: KEHARUSAN REVOLUSI EKONOMI

Tatkala kolonialisme memangsa kita, bangsa hidup dalam perilaku perbudakan. Pada zaman kompeni asing menguasai, semua gerak-gerik kita diatur bangsa asing. Terjadi hierarki sosial dalam politik divide et empira. Struktur sosial hancur lebur, dan kemudian elite sosial yang diberi priviledge oleh kompeni tersanjung karena terjadi “perselingkuhan” antara kompeni dengan struktur elite sosial. Rakyat kemudian menderita, dan sistem tanam paksa serta kerja rodi menjadi trade mark kolonialisme.

Perilaku memuakkan itu telah mendarahdaging. Sampai-sampai puluhan tahun usai bangsa Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai negara merdeka, mental budak dan mental menjajah (baca: mental ”perselingkuhan”) masih terlihat secara telanjang di depan mata kita. Sejatinya, proklamsi 17 Agustus 1945 merupakan entry point untuk menyatakan sayonara terhadap mental budak dan mental menjajah. Akan tetapi, proklamasi tampaknya hanya sebatas dimaknai revolusi merebut kemerdekaan dari tangan asing. Jepang dan Belanda pun hengkang dari negeri pertiwi ini, tapi perbudakan tetap saja mengalir bahkan kian menjadi-jadi dewasa ini.

Bung Karno dan Bung Hatta serta the founding fathers, sesungguhnya sudah membuat blue-print membangun bangsa Indonesia. Sungguh sangat elok formulasi Pancasila dan UUD 1945 yang disusun oleh beliau-beliau. The faunding fathers paham betul bahwa diperlukan revolusi simultan. Bung Karno menyatakan revolusi kita adalah satu revolusi simultan. Sekali lagi: Revolusi kita adalah satu revolusi simultan. Harus serentak-sekaligus-bersama-sama, artinya sekarang ini kita menjalankan, ya revolusi nasional, ya revolusi politik, ya revolusi ekonomi, ya revolusi sosial, ya revolusi kulturil, kebudayaan, ya revolusi membuat manusia baru, ya revolusi di dalam segala hal.

Formula Revolusi

Kendati the founding fathers sudah membuat formula revolusi, tapi waktu terus bergulir, irama dan ritme kehidupan kerap menjerumuskan bangsa ke dalam jurang yang sesungguhnya telah menghilangkan karakter bangsa. Akhirnya, revolusi terdeviasi. Padahal revolusi dimaknai sebagai perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat.

Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat by design or not by design. Dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama.

Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru. Revolusi senantiasa berkaitan dengan dialektika, logika, romantika, menjebol dan membangun. Dalam rumusan Karl Marx, dialektika revolusi adalah suatu usaha menuju perubahan menuju kemaslahatan rakyat yang ditunjang oleh beragam faktor. Tidak hanya figur pemimpin, namun juga segenap elemen perjuangan beserta sarananya.

Logika revolusi merupakan bagaimana revolusi dapat dilaksanakan berdasarkan suatu perhitungan mapan, bahwa revolusi tidak bisa dipercepat atau diperlambat, ia akan datang pada waktunya. Kader-kader revolusi harus dibangun sedemikian rupa dengan kesadaran kelas dan kondisi nyata di sekelilingnya. Romantika revolusi merupakan nilai-nilai dari revolusi, beserta kenangan dan kebesarannya, di mana ia dibangun. Romantika ini menyangkut pemahaman historis dan bagaimana ia disandingkan dengan pencapaian terbesar revolusi, yaitu kemaslahatan rakyat.
Sejarah modern mencatat dan mengambil rujukan revolusi mula-mula pada Revolusi Perancis, kemudian Revolusi Amerika. Namun, Revolusi Amerika lebih merupakan sebuah pemberontakan untuk mendapatkan kemerdekaan nasional, ketimbang sebuah revolusi masyarakat yang bersifat domestik seperti pada Revolusi Perancis. Begitu juga dengan revolusi pada kasus perang kemerdekaan Vietnam dan Indonesia.
Karakter kekerasan pada ciri revolusi dipahami sebagai sebagai akibat dari situasi ketika perubahan tata nilai dan norma yang mendadak telah menimbulkan kekosongan nilai dan norma yang dianut masyarakat.
Penghianatan Revolusi

Wajah mondial telah berubah. Globalisasi dengan karakter khasnya liberalisasi ekonomi telah memakan mangsanya. Gajah dilepas dan dibiarkan beradu, yang mati adalah semut-semut. Kerapkali para gajah berselingkuh, tapi tetap saja semut-semut teraniaya. Dalam pertarungan perang gajah di satu sisi, dan di sisi lain semut-semut masih mengeloni mental budaknya alias mental inlander serta merta para semut pun tidak pernah menjeriti nasibnya. Para semut sudah mulai malas dan pelit memikirkan bagaimana melakukan revolusi ekonomi untuk keluar dari mental perbudakan. Mereka fatalis melihat dunia.

Saat ini, revolusi ekonomi sesungguhnya mendapatkan momentum yang tepat. Tapi para inlander, lagi-lagi tidak pernah sadar untuk ”mengamuk” secara kolektif untuk menggugat tatanan mondial. Saat ini dunia telah dan sedang terjerumus pada krisis finansial global. Panen pengangguran dan kemiskinan akan tiba lebih cepat. Bukan saja di negara-negara semut bertengger kemiskinan dan pengangguran bertumpuk, tapi di seantero global segera akan terkapar.

Kepincangan ekonomi global merupakan biang krisis global. Kerakusan negara-negara kaya terhadap sirkulasi finansial global telah menjerumuskan ekonomi dunia ke jurang yang dalam. Tapi, lagi-lagi negara-negara miskin dan berkembang, nyaris tidak berani mentakan ”tidak” pada negara kaya. Revolusi ekonomi yang akan mengubah tatanan dunia global dibiarkan berjalan rakus.

Di sisi lain, di negeri kita, kerakusan juga dibiarkan. Tidak pernah kita berani mengatakan revolusi terhadap kerakusan struktural. Inilah yang membuat kita tidak pernah merebut kemerdekaan yang sejati. Kata Sritua Arif, dari dulu sampai sekarang proses ekonomi nasional masih saja mengandung ciri proses yang eksploitatif. Dimulai secara sistematis pada zaman kolonial Belanda, yang kemudian dikenal dengan sistem tanam paksa. Suatu pengeksploiatasian besar-besaran yang berimplikasi sangat buruk terhadap ekonomi rakyat Indonesia.

Dan nampaknya perekonomian bangsa Indonesia saat ini seperti mengulang sejarah lama. Kondisi nasionalisme ekonominya telah kehilangan esensi. Ironisnya, hanya menjadi simbol pragmatis yang mengatasnamakan Indonesia. Tidak memiliki keterkaitan yang kuat dengan kepentingan mayoritas bangsa.

Kemerdekaan bukan untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri, tetapi kemerdekaan adalah merupakan syarat untuk melakukan koreksi yang fundamental dalam tatanan sosial dan tatanan hubungan ekonomi di dalam masyarakat. Dalam hal ini Hatta juga mengatakan bahwa kedudukan soal usaha ekonomi dalam masyarakat perlu untuk dipersoalkan. Sebagian kaum produsen dan kaum konsumen yang terbesar terdiri dari bangsa kita. Akan tetapi, kaum distributor justru dikuasai bangsa asing. Inilah yang satu pokok penting yang menjadi sebab kelemahan ekonomi rakyat kita.

Menurut Hatta keadaan ekonomi rakyat yang begitu melarat tidak dapat ditolong dengan mengadakan bank partikulir dengan cap “nasional”. Tapi keadaan itu hanya dapat diperbaiki berangsur-angsur dengan memberi susunan kepada produksi dan konsumen rakyat.

Mukhaer Pakkanna

KEARIFAN EKONOMI LOKAL

Sinyal resesi yang menghantui ekonomi global telah memaksa banyak negara berpaling dan menengok ekonomi domestiknya. Tepat apa yang dikatakan Joan Robinson, ekonom strukturalis, bahwa dalam perdagangan bebas akan menjerumuskan negara-negara berkembang ke posisi terpukul oleh karena nasionalisme merupkan motif dasar setiap aktor ekonomi internasional. “The very nature of economics is rooted in nationalism” (Robinson, 1982).

Sebagai penganut rezim devisa bebas, Indonesia sadar atau tidak, telah hanyut dalam cengkraman arus liberalisasi ekonomi global. Konsekuensinya, di tengah krisis ekonomi global dengan titik episentrumnya krisis keuangan Amerika, Indonesia justru terhempas jatuh. Buktinya, kurs rupiah lunglai di tengah rebound-nya mata uang negara-negara tetangga dan negara maju. Demikian juga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus terpukul.

Ini mengindikasikan bahwa fundamental ekonomi Indonesia sangat volatile. Maka, terjadilah external shock, yang membuat kondisi ekonomi dalam negeri sangat rapuh. Padahal secara geoekonomi, Indonesia memiliki social capital yang sungguh kaya dan disertai bentangan sumberdaya alam yang masih melimpah untuk mengokohkan ekonomi nasional. Tapi, mengapa modal geoekonomi itu tidak dioptimalkan dalam menguatkan ekonomi nasional?

Kearifan Lokal
Pengembangan ekonomi nasional sejatinya membangun ekonomi lokal. Ekonomi nasional bisa berjalan kokoh dan berkesinambungan di atas pondasi ekonomi lokal yang kuat. Sementara ekonomi lokal bisa teguh berdiri di atas kokohnya kearifan lokal (local wisdom). Karena itu dibutuhkan penguatan ekonomi nasional disokong kuatnya kearifan ekonomi lokal.

Kearifan, menurut Sternberg dalam Why Schools Teach for Wisdom: The Balance Theory of Wisdom in Educational Settings (Mahpur, 2008), menyebutkan bahwa kearifan dapat dijelaskan dalam cakupan Tacit Knowledge (TK). TK merupakan jantungnya kearifan. Ia adalah pengetahuan informal yang tidak diajarkan disekolah, seperti tradisi di mana pengetahuan formal dipelajari dan diprioritaskan. Kearifan akan memediasi nilai yang disokong kinerja inteligensi praktis.

Kearifan lokal berarti sebuah sistem dalam tatanan kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi dan lingkungan yang hidup di dalam masyarakat lokal. Karakter khas yang inherent dalam kearifan lokal yakni sifatnya dinamis, kontinyu dan diikat dalam komunitasnya.

Karena itu, dalam kearifan lokal dikenal adanya sanksi bagi anggota masyarakat yang dianggap melanggar tata kehidupan yang disepakati. Jadi, kearifan lokal merupakan common-sense bagi masyarakatnya. Intinya, dalam kearifan lokal mengejawantah dalam bentuk seperangkat aturan, pengetahuan dan ketrampilan serta tata nilai dan etika yang mengatur tatanan sosial komunitas yang terus hidup dan berkembang dari generasi ke generasi.

Dalam kasus kearifan ekonomi lokal, pola kerja lembaga keuangan mikro (LKM) yang selama ini dilakukan masyarakat di Kabupaten Gianyar Bali menjadi contoh menarik. Dalam studi Lincolin Arsyad (2008) menyebutkan dalam membangun ekonomi lokal, dibutuhkan kearifan lokal. Karena itu, keberhasilan LKM di Gianyar karena mampu memadukan kearifan lokal yang bersifat informal dan tata kelola LKM melalui pendekatan formal. Pendekatan informal melalui penguatan nilai, norma dan sanksi sosial. Pola ini sejatinya sudah bersemayam dalam kearifan lokal di berbagai kehidupan masyarakat lokal di beberapa daerah lain. Sementara pendekatan formal melalui membangun tata kelola LKM yang mencakup organisasi, prosedur rekruitmen, mekanisme simpan pinjam, dan sistem renumerasi.

Pola pengembangan LKM Gianyar ini ternyata telah berhasil mengakselerasi peningkatan PDRB Gianyar dan mampu memacu pembangunan ekonomi lokal melalui peningkatan kebiasaan menabung, menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan tingkat monetisasi di masyarakat lokal.

Membangun Ekonomi Lokal
Pola Gianyar menjadi kasus menarik bagaimana pengembangan masyarakat (community development) perlu memperhatikan pengetahuan dasar masyarakat asli secara historis dan sosio-budaya. Dan bagaimana pengetahuan itu membentuk pengalaman. Tatkala pengalaman dan pengetahuan historis ini dicoba dipaksakan niscaya pengetahuan dan komunitas lokal kerap tersingkir sebagai kelompok marjinal. Sebagai misal, masyarakat Badui di Banten, Samin Sedulur Sikep di Pati dan Bojonegoro (Fauzan, 2005), suku Dayak di Kalimantan, suku Tengger di Malang dan Probolinggo.

Pada intinya, pengembangan masyarakat harus memperhatikan realitas informal kearifan lokal. Alih-alih transfer dana dari pusat ke daerah terus meningkat, misalnya dari semula Rp129,7 triliun (2004) menjadi Rp292,4 (APBN-P 2008) serta pada APBN 2009 digenjot lagi menjadi Rp303,9 triliun, dalam realitasnya alokasi dana itu belum mampu mengoptimalisasi dan menstimulasi ekonomi lokal. Persoalannya, alokasi dana dari pusat dan daerah dalam rangka penguatan ekonomi lokal kurang menyentuh pengetahuan dasar masyarakat asli.

Dalam konteks itulah, pendekatan informal dan formal seperti yang dilakukan di Gianyar bisa menjadi solusi. Solusi itulah yang membuat budaya pertanian Subak di Bali yang merupakan warisan budaya, basis pertanian, yang mengenal tradisi palemahan, pawongan dan parahyangan memicu peningkatan kesejahteraan masyarakat pertanian. Demikian juga pada kasus tradisi perahu Sendeq suku Mandar di Sulawesi Barat, telah menstimulasi peningkatan ekonomi masyarakat nelayan. Lautan yang dalam merupakan halaman rumah-rumah suku Mandar. Begitu mereka bangun dari tidur langsung disapa gemuruh air laut dan dibelai semburan angin laut. Kondisi inilah yang mengajarkan masyarakat Mandar untuk beradaptasi dan survival membangun ekonominya secara kontinyu.

Nyaris mirip suku Mandar, kehidupan nelayan Desa Bendar Juwana Pati Jawa Tengah juga memiliki pola yang sangat kreatif mengembangkan kearifan lokal ekonominya. Hubungan kekerabatan, gotong royong, dan persaudaraan menjadi titik pijak membangun komunitasnya. Bahkan, kaum perempuan dilibatkan dalam proses produksi dan penjualan hasil tangkap. Dan yang lebih penting hilangnya ”linta darat” diganti pola lembaga keuangan sederhana yang didasarkan sistem bagi hasil.

Realitas seperti itulah, meneguhkan kearifan ekonomi lokal untuk terus dikembangkan. Namun, perlu pendekatan formal yang tidak mencerabut keaslian pengetahuan dasar masyarakat lokal. Setidaknya perlu dilakukan, pertama, membangun institusi ekonomi lokal. Secara teoritik, salah satu stimulasi pengembangan ekonomi masyarakat adalah institusi yang baik, termasuk unsur kearifan lokal sebagai salah satu basis rule of the game. Keberhasilan pola LKM di Gianyar dan Desa Benda Juwana dengan pengembangan lembaga kredit mikronya menguatkan peran kearifan lokal ini dalam penerapan aturan main pada institusi sebagai modal sosial.
Kedua, perlunya political will pemerintah untuk melakukan kemitraan dengan kelompok-kelompok pendamping masyarakat lokal. Pola penggelontoran dana yang galib dilakukan pemerintah selama ini tanpa mempertimbangkan faktor sosial-budaya lokal diyakini akan memboroskan anggaran negara. Dalam konteks itulah, pendekatan ”proyek” harus digantikan dengan pendekatan partisipatif yang berjalan berkesinambungan.
Koentjaraningrat (1994) menegaskan harus digali nilai kearifan lokal sebagai praktik dinamika dalam mendorong mentalitas membangun, niscaya ia akan merangkai capaian membangsa sebagai semangat kreatifitas, tanggung jawab, pencapaian kebahagiaan masa depan yang dihidupi oleh mentalitas lokal. Sprit inilah yang akan memacu penguatan ekonomi nasional di atas kokohnya kearifan ekonomi lokal. Semoga’. Mukhaer Pakkanna

EKONOMI TANPA ”JENIS KELAMIN”

Bagaimanapun beratnya kesengsaraan yang menyelimuti rakyat, pemerintah tetap tidak beringsut memutuskan kenaikan harga BBM pada akhir Mei 2008 lalu. Pemerintah kemudian berdalih mengkompensasikan besaran subsidi untuk rakyat sebanyak Rp 34,5 triliun, termasuk BLT, KUR, subsidi transportasi massal dan cadangan risiko fiskal. Besaran alokasi subsidi itu ditambah lagi alokasi anggaran dari APBN 2008 sebesar Rp 60 triliun untuk penanggulangan kemiskinan. Besarnya subsidi tersebut belum termasuk alokasi anggaran di beberapa instansi/departemen yang berkaitan program kemiskinan.

Trend menunjukkan sejak pemerintah SBY-JK alokasi anggaran untuk penanggulan kemiskinan terus meningkat, pada 2004 berjumlah Rp18 triliun dengan jumlah orang miskin 36,1 juta jiwa, pada 2005 berjumlah Rp23 triliun dengan jumlah orang miskin 35,1 juta jiwa, pada 2006 berjumlah Rp42 triliun dengan jumlah orang miskin 39,3 juta jiwa dan pada 2007 anggaran berjumlah Rp51 triliun dengan jumlah penduduk miskin 37,2 juta jiwa.

Peningkatan anggaran penanggulan kemiskinan tampaknya tidak ekuivalen dengan meningkatnya jumlah orang miskin. Secara sepintas, besaran anggaran itu memperlihatkan bahwa Indonesia termasuk negara pro-poor, yang secara kategoris diidentikan sebagai negara pembela orang miskin. Nyaris tidak satu pun negara di Asia Tenggara, atau negara-negara yang menganut aliran sosialis sekalipun yang secara signifikan terus meningkatkan anggaran untuk orang miskin. Namun, besaran itu ternyata tidak serta merta menstimulasi menurun-drastisnya jumlah orang miskin, bahkan semakin bertambah. Demikian juga, jumlah penggangguran yang semakin eskalatif.

Tanpa Identitas
Sejatinya, perekonomian nasional lahir dari jenis “kelamin” yang jelas dan tegas, sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 ayat 1 UUD 1945, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Selanjutnya ayat 2 menyebutkan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. The founding fathers tatkala itu paham betul “bisikan hati rakyat” bahwa perkonomian Indonesia harus didasarkan pada “kebersamaan” (mutual endeavour) dan “kekeluargaan” (brotherhood). Sehingga tidak heran, jika yang dianggap bangunan ekonomi yang cocok bagi rakyat Indonesia adalah bangunan ekonomi kerakyatan, yang salah satu kelembagaanya dalam bentuk koperasi.

Yang menjadi pertanyaan, apakah gelontoran dana yang tiap tahunnya terus bertambah untuk penanggulangan kemiskinan termasuk dalam makna “kebersamaan” dan “kekeluargaan”? Dalam kasus BLT, yang secara terang-benderang efektifitasnya bagi rakyat sangat rendah dan jumlah dana sangat besar sekitar Rp 19,1 triliun, sangat bias dari makna “kebersamaan” dan “kekeluargaan”. Justru yang terjadi, selain adannya penolakan aparat dalam tingkat teknis penyaluran, social trust antar rakyat semakin menipis. Saling curiga dan tidak percaya antara anggota masyarakat tergerus. Bahkan, BLT dianggap merupakan wujud penghinaan kepada orang miskin karena tidak menstimulasi untuk membangun kesadaran kolektif untuk bekerja dan produktif.

Padahal makna “kebersamaan” dan “kekeluargaan” diartikan sebagai makna demokrasi ekonomi. Dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945 dinyatakan, demokrasi ekonomi ditandai oleh, “dilakukannya produksi oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat”. Mubyarto (2003) menyebutkan, dalam rangka demokrasi ekonomi, semua anggota masyarakat harus turut serta dalam melakukan produksi, turut menikmati hasil-hasilnya, dan yang lebih penting, turut serta dalam mengendalikan berlangsungnya proses produksi dan distribusi. Tidak heran, sejak jauh-jauh hari Bung Hatta mewanti-wanti bahwa, “demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi hanya akan menyebabkan berjayanya kepentingan individu di atas kepentingan orang banyak”.

Desain Kelembagaan

Kemubaziran anggaran negara untuk proyek penanggulangan kemiskinan, terutama pada era SBY-JK lebih bertitik tolak pada lemahnya desain kelembagaan operasional. Justru yang terjadi, seiring dengan proyek penanggulangan kemiskinan yang berwajah “sosialis”, di sisi lain wajah “kapitalis” yang neoliberalistik masih tampak bercokol kuat dalam pemerintahan. Sehingga yang tampak, kebijakan ekonomi berjalan tanpa ideologi demokrasi ekonomi, dan yang muncul kemudian paradigma ekonomi tanpa “jenis kelamin” (tanpa identitas).

Kontradiksi terus berlangsung. Misalnya, beriringan proyek kerakyatan, diagendakan pula bagaimana melakukan privatisasi secara massal BUMN. Pilihan pahit pemerintah untuk mendongkrak harga BBM, jelas merupakan respon bahwa pemerintah “tergagap-gagap” menghadapi kekuatan asing dalam menguasai sumberdaya perminyakan dan gas nasional. Pelaku minyak nasional, sebagai misal, ternyata dikuasai oleh hampir semuanya perusahaan asing. Ini menunjukkan, kedaulatan pengelolaan minyak nasional saja selama puluhan tahun Indonesia tidak sanggup. Pertamina sebagai BUMN terbesar hanya sebagai “macomblang” dari perusahaan asing yang memegang kontrak karya puluhan tahun yang kerapkali mengelambungkan cost recovery.

Dengan data konkret itu, kedaulatan ekonomi nasional sudah tergadai ke pihak asing. Percuma adanya kebijakan subsidi, proteksi dan segala macam proyek penanggulangan kemiskinan, jika identitas ekonomi nasional diserahkan ke pihak kekuatan modal asing. Artinya, Indonesia akan tetap menjadi budak belian di negeri sendiri yang melimpah kekayaan alamnya. Untuk tidak terus menerus berbuat mubazir dalam program penanggulangan kemiskinan, alangkah idealnya, jika, pertama, melakukan negosiasi ulang, bahkan kalau bisa membatalkan berbagai kontrak karya asing yang terus menerus memenjarakan dan merugikan kepentingan ekonomi nasional. Minyak bumi Indonesia dibawa pergi oleh kekuatan modal asing, sementara kita terus menerus impor minyak yang mahal. Dalam teori ekonomi strukturalis diistilahkan sebagai proses berlangsungnya posisi ekspor dan net resources inflow yang negatif. Tentu kebijakan ini harus sejalan dengan ketegasan pemerintah untuk melakukan moratorium debt, karena lebih banyak menguntungkan pihak asing alias terjadi net transfer.

Kedua, dalam konteks mempertegas identitas ekonomi nasional, diperlukan desain kelembagaan ekonomi kerakyatan sehingga dana-dana “proyek” kemiskinan tidak mubazir. Kelembagaan yang penting, intinya adalah, melibatkan rakyat berpartisipasi sehingga terwujud rasa “kebersaamaan” dan “kekeluargaan”. Beri kesempatan rakyat mengatur dananya dalam bentuk arisan ataukah dalam bentuk revolving fund yang terlembaga yang disertai aturan dan sanksi yang jelas dan dibuat oleh rakyat sendiri.
Tidak usah pemerintah terlalu ambisius menggelontorkan dana puluhan triluan rupiah sementara rakyat belum siap melembagakan dirinya. Oleh karena itu, perlu prakondisi dengan melakukan pendampingan dan penyadaran tentang arti kelembagaan ekonomi, seperti bagaimana mengelola koperasi rakyat, sistem jimpitan, lumbung padi, arisan, lembaga keuangan mikro, BMT, dan lainnya. Tumbuhkan kembali semangat kebersamaan dan keluargaan sehingga saling percaya di antara masyarakat kembali tumbuh dengan mozaik yang indah

MEMBACA EKONOMI RAKYAT

Krisis ekonomi global yang dipicu gejolak harga minyak, telah merontokkan daya tahan ekonomi negara-negara importir minyak. Harga-harga semakin liar dan tidak terkendali, telah menggerus daya beli rakyat, yang pada ujungnya pengangguran dan kemiskinan terus menumpuk. Semua lembaga keuangan internasional nyaris kompak memprediksi, pertumbuhan ekonomin global menyusut, disertai pengangguran bertambah. Ini artinya, kondisi ekonomi global dihadang keterpurukan masif.

Mengutip George Sorensen dalam buku Democracy and Democratization: Process and Prospect in a Changing World (1993). Bahwa demokrasi beku (frozen democracy) ditandai terpuruknya kondisi ekonomi, terhambatnya pembentukan masyarakat sipil, gagalnya tercipta soliditas di kalangan elite, dan tidak tuntasnya masalah hukum pemerintahan lama.

Ini menandakan, keterpurukan ekonomi Indonesia akibat desakan keterpurukan ekonomi global, semakin memicu percepatan proses kebekuan demokrasi. Dalam proses keterpurukan itu, kehidupan ekonomi rakyat semakin memprihatinkan. Akses ekonomi rakyat dalam penguasaan sumberdaya ekonomi semakin minimal. Namun, di sisi lain, penguasaan sumberdaya ekonomi dengan kekuatan akses informasi, modal dan jaringan, semakin mendominasi penguasaan modal, penguasaan barang/jasa dan permainan spekulan oleh segelintir orang. Dalam konteks itulah, disparitas ekonomi antara ekonomi rakyat dengan penguasa modal menjadi kian menganga lebar. Demokrasi ekonomi semakin terancam masa depannya.

Demokrasi Ekonomi
Membangun demokrasi politik, tidak akan lenggeng jika tidak ada demokrasi ekonomi. Keterpurukan ekonomi, adalah simptom bahwa demokrasi ekonomi semakin kehilangan relevansi. Demokrasi ekonomi, seperti yang dijelaskan dalam pasal 33 UUD 1945 ditandai oleh, “dilakukannya produksi oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat”. Sri Edi Swasono (2003) menyebutkan, dalam rangka demokrasi ekonomi, semua anggota masyarakat harus turut serta dalam melakukan produksi, turut menikmati hasil-hasilnya, dan yang lebih penting, turut serta dalam mengendalikan berlangsungnya proses produksi dan distribusi.

Demokrasi ekonomi di tengah kondisi krisis ekonomi meniscayakan partisipasi sosial. Namun, karena penguasaan dana, penguasaan barang/jasa, dan permainan spekulan oleh segelintir orang dengan dukungan korporatokrasi, kemudian tidak dikontrol demokrasi ekonomi, akhirnya mereka mengawetkan penguasaan produksi dan distribusi dari hulu hingga hilir. Tidak heran kemudian, di tengah krisis ekonomi para penguasa sumberdaya kian melebarkan sayap usahanya. Bukti hal itu terlihat pada data bahwa 150 orang Indonesia yang sangat kaya dengan nilai total aset Rp 419 triliun (Globe Asia, 2007). Sementara bagi sekitar 37,17 juta orang Indonesia (BPS 2007) yang mempunyai tingkat pengeluaran kurang dari Rp 166.967 per bulan atau kurang dari Rp 5.565 per hari untuk biaya hidup (makanan, pakaian, perumahan, transportasi, kesehatan, pendidikan), masa depannya kian suram.

Kesenjangan seperti itu sudah dingatkan Bung Hatta bahwa, “demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi hanya akan menyebabkan berjayanya kepentingan individu di atas kepentingan orang banyak”.

Ekonomi Rakyat
Demokrasi ekonomi berarti partisipasi ekonomi rakyat. Inti ekonomi rakyat adalah didasarkan pada ”kebersamaan” (mutual endeavour) dan “kekeluargaan” (brotherhood). Liberalisasi ekonomi yang terus diusung oleh pemilik modal skala global dan rakus semakin meneguhkan korporatokrasi (Perkins, 2003). Dalam kondisi keterpurukan ekonomi, identititas ekonomi nasional berbasis realitas ekonomi rakyat kurang mendapat tempat. Kebutuhan terhadap modal melalui privatisasi, utang luar negeri, dan kebergantungan pada pihak pemodal asing akan menjadi preferensi utama pemerintah.

Dalam konteks itu, spirit ekonomi rakyat yang didasarkan pada nilai kebersamaan dan kekeluargaan harus terus dilembagakan. Demokrasi politik yang kian eskalatif terutama jelang Pemilu 2009, hanya bisa bermakna jika demokrasi ekonomi menyertainya. Artinya, para penguasa modal, penguasa barang/jasa dan para spekulan akan terus memanfaatkan ruang demokrasi politik untuk kepentingan dirinya jika tidak diiringi demokrasi ekonomi. Maraknya penangkapan pejabat publik dalam kasus penyuapan oleh penguasa modal, menandakan bahwa demokrasi politik yang berlaju cepat tidak diringi percepatan demokrasi ekonomi.

Oleh karena itu, koperasi sebagai pilar ekonomi rakyat harus dibangun sebagai bangunan perusahaan. Bung Hatta mengemukakan, ”bila perekonomian Indonesia dapat diibaratkan sebagai kebun, maka koperasi adalah pohon-pohon yang tumbuh di dalam kebun tersebut, yaitu siap dipetik buahnya oleh seluruh rakyat Indonesia”. Dalam kaitan itu, langkah yang perlu dilakukan, pertama, demokrasi politik yang melaju kencang dan di-drive oleh Parpol harus membangun institusi demokrasi ekonomi melalui koperasi. Artinya, baik pemerintah maupun parpol, jangan menempatkan ekonomi rakyat hanya sebagai alat politik, tapi harus secara kontinu melakukan pemberdayaan ekonomi dan pendidikan politik di atas makna ”kebersamaan” dan ”kekeluargaan”. Bukan individualisme, kelompokisme, dan parpolisme.

Kedua, ekonomi rakyat tidak akan terentaskan jika mereka tidak diberi ruang bergerak atau akses pada sumber-sumber informasi dan permodalan. Pendekatan ad hoc dan tidak kontinu, yang hanya menempatkan ekonomi rakyat dalam konteks ”proyek”, yang setiap waktu bisa ditinggalkan jika proyek itu usai akan membuat program pemberdayaan mubazir. Seyogyanya, pemerintah harus memiliki visi, agenda program dan kelembagaan jangka panjang dalam program pemberdayaan ekonomi rakyat. Mukhaer Pakkanna