Senin, 22 Desember 2008

Pengantar: KEHARUSAN REVOLUSI EKONOMI

Tatkala kolonialisme memangsa kita, bangsa hidup dalam perilaku perbudakan. Pada zaman kompeni asing menguasai, semua gerak-gerik kita diatur bangsa asing. Terjadi hierarki sosial dalam politik divide et empira. Struktur sosial hancur lebur, dan kemudian elite sosial yang diberi priviledge oleh kompeni tersanjung karena terjadi “perselingkuhan” antara kompeni dengan struktur elite sosial. Rakyat kemudian menderita, dan sistem tanam paksa serta kerja rodi menjadi trade mark kolonialisme.

Perilaku memuakkan itu telah mendarahdaging. Sampai-sampai puluhan tahun usai bangsa Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai negara merdeka, mental budak dan mental menjajah (baca: mental ”perselingkuhan”) masih terlihat secara telanjang di depan mata kita. Sejatinya, proklamsi 17 Agustus 1945 merupakan entry point untuk menyatakan sayonara terhadap mental budak dan mental menjajah. Akan tetapi, proklamasi tampaknya hanya sebatas dimaknai revolusi merebut kemerdekaan dari tangan asing. Jepang dan Belanda pun hengkang dari negeri pertiwi ini, tapi perbudakan tetap saja mengalir bahkan kian menjadi-jadi dewasa ini.

Bung Karno dan Bung Hatta serta the founding fathers, sesungguhnya sudah membuat blue-print membangun bangsa Indonesia. Sungguh sangat elok formulasi Pancasila dan UUD 1945 yang disusun oleh beliau-beliau. The faunding fathers paham betul bahwa diperlukan revolusi simultan. Bung Karno menyatakan revolusi kita adalah satu revolusi simultan. Sekali lagi: Revolusi kita adalah satu revolusi simultan. Harus serentak-sekaligus-bersama-sama, artinya sekarang ini kita menjalankan, ya revolusi nasional, ya revolusi politik, ya revolusi ekonomi, ya revolusi sosial, ya revolusi kulturil, kebudayaan, ya revolusi membuat manusia baru, ya revolusi di dalam segala hal.

Formula Revolusi

Kendati the founding fathers sudah membuat formula revolusi, tapi waktu terus bergulir, irama dan ritme kehidupan kerap menjerumuskan bangsa ke dalam jurang yang sesungguhnya telah menghilangkan karakter bangsa. Akhirnya, revolusi terdeviasi. Padahal revolusi dimaknai sebagai perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat.

Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat by design or not by design. Dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama.

Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru. Revolusi senantiasa berkaitan dengan dialektika, logika, romantika, menjebol dan membangun. Dalam rumusan Karl Marx, dialektika revolusi adalah suatu usaha menuju perubahan menuju kemaslahatan rakyat yang ditunjang oleh beragam faktor. Tidak hanya figur pemimpin, namun juga segenap elemen perjuangan beserta sarananya.

Logika revolusi merupakan bagaimana revolusi dapat dilaksanakan berdasarkan suatu perhitungan mapan, bahwa revolusi tidak bisa dipercepat atau diperlambat, ia akan datang pada waktunya. Kader-kader revolusi harus dibangun sedemikian rupa dengan kesadaran kelas dan kondisi nyata di sekelilingnya. Romantika revolusi merupakan nilai-nilai dari revolusi, beserta kenangan dan kebesarannya, di mana ia dibangun. Romantika ini menyangkut pemahaman historis dan bagaimana ia disandingkan dengan pencapaian terbesar revolusi, yaitu kemaslahatan rakyat.
Sejarah modern mencatat dan mengambil rujukan revolusi mula-mula pada Revolusi Perancis, kemudian Revolusi Amerika. Namun, Revolusi Amerika lebih merupakan sebuah pemberontakan untuk mendapatkan kemerdekaan nasional, ketimbang sebuah revolusi masyarakat yang bersifat domestik seperti pada Revolusi Perancis. Begitu juga dengan revolusi pada kasus perang kemerdekaan Vietnam dan Indonesia.
Karakter kekerasan pada ciri revolusi dipahami sebagai sebagai akibat dari situasi ketika perubahan tata nilai dan norma yang mendadak telah menimbulkan kekosongan nilai dan norma yang dianut masyarakat.
Penghianatan Revolusi

Wajah mondial telah berubah. Globalisasi dengan karakter khasnya liberalisasi ekonomi telah memakan mangsanya. Gajah dilepas dan dibiarkan beradu, yang mati adalah semut-semut. Kerapkali para gajah berselingkuh, tapi tetap saja semut-semut teraniaya. Dalam pertarungan perang gajah di satu sisi, dan di sisi lain semut-semut masih mengeloni mental budaknya alias mental inlander serta merta para semut pun tidak pernah menjeriti nasibnya. Para semut sudah mulai malas dan pelit memikirkan bagaimana melakukan revolusi ekonomi untuk keluar dari mental perbudakan. Mereka fatalis melihat dunia.

Saat ini, revolusi ekonomi sesungguhnya mendapatkan momentum yang tepat. Tapi para inlander, lagi-lagi tidak pernah sadar untuk ”mengamuk” secara kolektif untuk menggugat tatanan mondial. Saat ini dunia telah dan sedang terjerumus pada krisis finansial global. Panen pengangguran dan kemiskinan akan tiba lebih cepat. Bukan saja di negara-negara semut bertengger kemiskinan dan pengangguran bertumpuk, tapi di seantero global segera akan terkapar.

Kepincangan ekonomi global merupakan biang krisis global. Kerakusan negara-negara kaya terhadap sirkulasi finansial global telah menjerumuskan ekonomi dunia ke jurang yang dalam. Tapi, lagi-lagi negara-negara miskin dan berkembang, nyaris tidak berani mentakan ”tidak” pada negara kaya. Revolusi ekonomi yang akan mengubah tatanan dunia global dibiarkan berjalan rakus.

Di sisi lain, di negeri kita, kerakusan juga dibiarkan. Tidak pernah kita berani mengatakan revolusi terhadap kerakusan struktural. Inilah yang membuat kita tidak pernah merebut kemerdekaan yang sejati. Kata Sritua Arif, dari dulu sampai sekarang proses ekonomi nasional masih saja mengandung ciri proses yang eksploitatif. Dimulai secara sistematis pada zaman kolonial Belanda, yang kemudian dikenal dengan sistem tanam paksa. Suatu pengeksploiatasian besar-besaran yang berimplikasi sangat buruk terhadap ekonomi rakyat Indonesia.

Dan nampaknya perekonomian bangsa Indonesia saat ini seperti mengulang sejarah lama. Kondisi nasionalisme ekonominya telah kehilangan esensi. Ironisnya, hanya menjadi simbol pragmatis yang mengatasnamakan Indonesia. Tidak memiliki keterkaitan yang kuat dengan kepentingan mayoritas bangsa.

Kemerdekaan bukan untuk kepentingan kemerdekaan itu sendiri, tetapi kemerdekaan adalah merupakan syarat untuk melakukan koreksi yang fundamental dalam tatanan sosial dan tatanan hubungan ekonomi di dalam masyarakat. Dalam hal ini Hatta juga mengatakan bahwa kedudukan soal usaha ekonomi dalam masyarakat perlu untuk dipersoalkan. Sebagian kaum produsen dan kaum konsumen yang terbesar terdiri dari bangsa kita. Akan tetapi, kaum distributor justru dikuasai bangsa asing. Inilah yang satu pokok penting yang menjadi sebab kelemahan ekonomi rakyat kita.

Menurut Hatta keadaan ekonomi rakyat yang begitu melarat tidak dapat ditolong dengan mengadakan bank partikulir dengan cap “nasional”. Tapi keadaan itu hanya dapat diperbaiki berangsur-angsur dengan memberi susunan kepada produksi dan konsumen rakyat.

Mukhaer Pakkanna

3 komentar:

  1. saya kurang setuju jika revolusi ekonomi terjadi di Indonesia, saya lebih setuju jika dimulai dengan adanya revolusi "menteri" ekonomi saja... Tapi saya sangat setuju dengan gagasan anda mengenai ekonomi rakyat dan kearifan ekonomi lokal di Indonesia

    BalasHapus
  2. Appresiate atas kehadiran Bloq baru, Revousi Ekonomi.. selamat !.
    Blognya baru, tetapi pengelolanya kukira jelas bukan orang baru dalam kajian berkaitan.

    Saya setuju dengan usaha apa saja untuk perubahan di Republik ini yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan. Apalagi yang berkaitan dengan Ekonomi, motor penggerak seluruh mesin perubahan masyarakat lainnya.

    Bicara perubahan yang revolusioner, berarti bicara suatu keadaan yang memaksa hal tsb harus terjadi atau dilakukan.

    Masih mencoba mencermati tulisan-tulisan pengelola, bagiamana gagasan itu mendaptkan argumen yg memadai utk tujuan yang dimaksud.

    Perubahan adalah hukum alam, sebuah keniscayaan. Persoalannya adalah apakah perubahan dan pergerakannya seperti sekarang ? atau dipercepat sekaligus diantar dalam satu sistem dan pengelolaan yg komprehensif, faktual, efektif dan efisien sbg sebuah gerakan bersama (lintas apasaja) terorganisir dimulai dengan membangun kesadaran dan kajian mendalam akan tersebut?
    Yang terakhir itu, saya pribadi tentu berharap pengelola Blog ini akan mendeskripsikannya kedepan. Insya Allah.

    Wassalam.

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus