Senin, 22 Desember 2008

KEARIFAN EKONOMI LOKAL

Sinyal resesi yang menghantui ekonomi global telah memaksa banyak negara berpaling dan menengok ekonomi domestiknya. Tepat apa yang dikatakan Joan Robinson, ekonom strukturalis, bahwa dalam perdagangan bebas akan menjerumuskan negara-negara berkembang ke posisi terpukul oleh karena nasionalisme merupkan motif dasar setiap aktor ekonomi internasional. “The very nature of economics is rooted in nationalism” (Robinson, 1982).

Sebagai penganut rezim devisa bebas, Indonesia sadar atau tidak, telah hanyut dalam cengkraman arus liberalisasi ekonomi global. Konsekuensinya, di tengah krisis ekonomi global dengan titik episentrumnya krisis keuangan Amerika, Indonesia justru terhempas jatuh. Buktinya, kurs rupiah lunglai di tengah rebound-nya mata uang negara-negara tetangga dan negara maju. Demikian juga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus terpukul.

Ini mengindikasikan bahwa fundamental ekonomi Indonesia sangat volatile. Maka, terjadilah external shock, yang membuat kondisi ekonomi dalam negeri sangat rapuh. Padahal secara geoekonomi, Indonesia memiliki social capital yang sungguh kaya dan disertai bentangan sumberdaya alam yang masih melimpah untuk mengokohkan ekonomi nasional. Tapi, mengapa modal geoekonomi itu tidak dioptimalkan dalam menguatkan ekonomi nasional?

Kearifan Lokal
Pengembangan ekonomi nasional sejatinya membangun ekonomi lokal. Ekonomi nasional bisa berjalan kokoh dan berkesinambungan di atas pondasi ekonomi lokal yang kuat. Sementara ekonomi lokal bisa teguh berdiri di atas kokohnya kearifan lokal (local wisdom). Karena itu dibutuhkan penguatan ekonomi nasional disokong kuatnya kearifan ekonomi lokal.

Kearifan, menurut Sternberg dalam Why Schools Teach for Wisdom: The Balance Theory of Wisdom in Educational Settings (Mahpur, 2008), menyebutkan bahwa kearifan dapat dijelaskan dalam cakupan Tacit Knowledge (TK). TK merupakan jantungnya kearifan. Ia adalah pengetahuan informal yang tidak diajarkan disekolah, seperti tradisi di mana pengetahuan formal dipelajari dan diprioritaskan. Kearifan akan memediasi nilai yang disokong kinerja inteligensi praktis.

Kearifan lokal berarti sebuah sistem dalam tatanan kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi dan lingkungan yang hidup di dalam masyarakat lokal. Karakter khas yang inherent dalam kearifan lokal yakni sifatnya dinamis, kontinyu dan diikat dalam komunitasnya.

Karena itu, dalam kearifan lokal dikenal adanya sanksi bagi anggota masyarakat yang dianggap melanggar tata kehidupan yang disepakati. Jadi, kearifan lokal merupakan common-sense bagi masyarakatnya. Intinya, dalam kearifan lokal mengejawantah dalam bentuk seperangkat aturan, pengetahuan dan ketrampilan serta tata nilai dan etika yang mengatur tatanan sosial komunitas yang terus hidup dan berkembang dari generasi ke generasi.

Dalam kasus kearifan ekonomi lokal, pola kerja lembaga keuangan mikro (LKM) yang selama ini dilakukan masyarakat di Kabupaten Gianyar Bali menjadi contoh menarik. Dalam studi Lincolin Arsyad (2008) menyebutkan dalam membangun ekonomi lokal, dibutuhkan kearifan lokal. Karena itu, keberhasilan LKM di Gianyar karena mampu memadukan kearifan lokal yang bersifat informal dan tata kelola LKM melalui pendekatan formal. Pendekatan informal melalui penguatan nilai, norma dan sanksi sosial. Pola ini sejatinya sudah bersemayam dalam kearifan lokal di berbagai kehidupan masyarakat lokal di beberapa daerah lain. Sementara pendekatan formal melalui membangun tata kelola LKM yang mencakup organisasi, prosedur rekruitmen, mekanisme simpan pinjam, dan sistem renumerasi.

Pola pengembangan LKM Gianyar ini ternyata telah berhasil mengakselerasi peningkatan PDRB Gianyar dan mampu memacu pembangunan ekonomi lokal melalui peningkatan kebiasaan menabung, menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan tingkat monetisasi di masyarakat lokal.

Membangun Ekonomi Lokal
Pola Gianyar menjadi kasus menarik bagaimana pengembangan masyarakat (community development) perlu memperhatikan pengetahuan dasar masyarakat asli secara historis dan sosio-budaya. Dan bagaimana pengetahuan itu membentuk pengalaman. Tatkala pengalaman dan pengetahuan historis ini dicoba dipaksakan niscaya pengetahuan dan komunitas lokal kerap tersingkir sebagai kelompok marjinal. Sebagai misal, masyarakat Badui di Banten, Samin Sedulur Sikep di Pati dan Bojonegoro (Fauzan, 2005), suku Dayak di Kalimantan, suku Tengger di Malang dan Probolinggo.

Pada intinya, pengembangan masyarakat harus memperhatikan realitas informal kearifan lokal. Alih-alih transfer dana dari pusat ke daerah terus meningkat, misalnya dari semula Rp129,7 triliun (2004) menjadi Rp292,4 (APBN-P 2008) serta pada APBN 2009 digenjot lagi menjadi Rp303,9 triliun, dalam realitasnya alokasi dana itu belum mampu mengoptimalisasi dan menstimulasi ekonomi lokal. Persoalannya, alokasi dana dari pusat dan daerah dalam rangka penguatan ekonomi lokal kurang menyentuh pengetahuan dasar masyarakat asli.

Dalam konteks itulah, pendekatan informal dan formal seperti yang dilakukan di Gianyar bisa menjadi solusi. Solusi itulah yang membuat budaya pertanian Subak di Bali yang merupakan warisan budaya, basis pertanian, yang mengenal tradisi palemahan, pawongan dan parahyangan memicu peningkatan kesejahteraan masyarakat pertanian. Demikian juga pada kasus tradisi perahu Sendeq suku Mandar di Sulawesi Barat, telah menstimulasi peningkatan ekonomi masyarakat nelayan. Lautan yang dalam merupakan halaman rumah-rumah suku Mandar. Begitu mereka bangun dari tidur langsung disapa gemuruh air laut dan dibelai semburan angin laut. Kondisi inilah yang mengajarkan masyarakat Mandar untuk beradaptasi dan survival membangun ekonominya secara kontinyu.

Nyaris mirip suku Mandar, kehidupan nelayan Desa Bendar Juwana Pati Jawa Tengah juga memiliki pola yang sangat kreatif mengembangkan kearifan lokal ekonominya. Hubungan kekerabatan, gotong royong, dan persaudaraan menjadi titik pijak membangun komunitasnya. Bahkan, kaum perempuan dilibatkan dalam proses produksi dan penjualan hasil tangkap. Dan yang lebih penting hilangnya ”linta darat” diganti pola lembaga keuangan sederhana yang didasarkan sistem bagi hasil.

Realitas seperti itulah, meneguhkan kearifan ekonomi lokal untuk terus dikembangkan. Namun, perlu pendekatan formal yang tidak mencerabut keaslian pengetahuan dasar masyarakat lokal. Setidaknya perlu dilakukan, pertama, membangun institusi ekonomi lokal. Secara teoritik, salah satu stimulasi pengembangan ekonomi masyarakat adalah institusi yang baik, termasuk unsur kearifan lokal sebagai salah satu basis rule of the game. Keberhasilan pola LKM di Gianyar dan Desa Benda Juwana dengan pengembangan lembaga kredit mikronya menguatkan peran kearifan lokal ini dalam penerapan aturan main pada institusi sebagai modal sosial.
Kedua, perlunya political will pemerintah untuk melakukan kemitraan dengan kelompok-kelompok pendamping masyarakat lokal. Pola penggelontoran dana yang galib dilakukan pemerintah selama ini tanpa mempertimbangkan faktor sosial-budaya lokal diyakini akan memboroskan anggaran negara. Dalam konteks itulah, pendekatan ”proyek” harus digantikan dengan pendekatan partisipatif yang berjalan berkesinambungan.
Koentjaraningrat (1994) menegaskan harus digali nilai kearifan lokal sebagai praktik dinamika dalam mendorong mentalitas membangun, niscaya ia akan merangkai capaian membangsa sebagai semangat kreatifitas, tanggung jawab, pencapaian kebahagiaan masa depan yang dihidupi oleh mentalitas lokal. Sprit inilah yang akan memacu penguatan ekonomi nasional di atas kokohnya kearifan ekonomi lokal. Semoga’. Mukhaer Pakkanna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar