Senin, 22 Desember 2008

EKONOMI TANPA ”JENIS KELAMIN”

Bagaimanapun beratnya kesengsaraan yang menyelimuti rakyat, pemerintah tetap tidak beringsut memutuskan kenaikan harga BBM pada akhir Mei 2008 lalu. Pemerintah kemudian berdalih mengkompensasikan besaran subsidi untuk rakyat sebanyak Rp 34,5 triliun, termasuk BLT, KUR, subsidi transportasi massal dan cadangan risiko fiskal. Besaran alokasi subsidi itu ditambah lagi alokasi anggaran dari APBN 2008 sebesar Rp 60 triliun untuk penanggulangan kemiskinan. Besarnya subsidi tersebut belum termasuk alokasi anggaran di beberapa instansi/departemen yang berkaitan program kemiskinan.

Trend menunjukkan sejak pemerintah SBY-JK alokasi anggaran untuk penanggulan kemiskinan terus meningkat, pada 2004 berjumlah Rp18 triliun dengan jumlah orang miskin 36,1 juta jiwa, pada 2005 berjumlah Rp23 triliun dengan jumlah orang miskin 35,1 juta jiwa, pada 2006 berjumlah Rp42 triliun dengan jumlah orang miskin 39,3 juta jiwa dan pada 2007 anggaran berjumlah Rp51 triliun dengan jumlah penduduk miskin 37,2 juta jiwa.

Peningkatan anggaran penanggulan kemiskinan tampaknya tidak ekuivalen dengan meningkatnya jumlah orang miskin. Secara sepintas, besaran anggaran itu memperlihatkan bahwa Indonesia termasuk negara pro-poor, yang secara kategoris diidentikan sebagai negara pembela orang miskin. Nyaris tidak satu pun negara di Asia Tenggara, atau negara-negara yang menganut aliran sosialis sekalipun yang secara signifikan terus meningkatkan anggaran untuk orang miskin. Namun, besaran itu ternyata tidak serta merta menstimulasi menurun-drastisnya jumlah orang miskin, bahkan semakin bertambah. Demikian juga, jumlah penggangguran yang semakin eskalatif.

Tanpa Identitas
Sejatinya, perekonomian nasional lahir dari jenis “kelamin” yang jelas dan tegas, sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 ayat 1 UUD 1945, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Selanjutnya ayat 2 menyebutkan, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. The founding fathers tatkala itu paham betul “bisikan hati rakyat” bahwa perkonomian Indonesia harus didasarkan pada “kebersamaan” (mutual endeavour) dan “kekeluargaan” (brotherhood). Sehingga tidak heran, jika yang dianggap bangunan ekonomi yang cocok bagi rakyat Indonesia adalah bangunan ekonomi kerakyatan, yang salah satu kelembagaanya dalam bentuk koperasi.

Yang menjadi pertanyaan, apakah gelontoran dana yang tiap tahunnya terus bertambah untuk penanggulangan kemiskinan termasuk dalam makna “kebersamaan” dan “kekeluargaan”? Dalam kasus BLT, yang secara terang-benderang efektifitasnya bagi rakyat sangat rendah dan jumlah dana sangat besar sekitar Rp 19,1 triliun, sangat bias dari makna “kebersamaan” dan “kekeluargaan”. Justru yang terjadi, selain adannya penolakan aparat dalam tingkat teknis penyaluran, social trust antar rakyat semakin menipis. Saling curiga dan tidak percaya antara anggota masyarakat tergerus. Bahkan, BLT dianggap merupakan wujud penghinaan kepada orang miskin karena tidak menstimulasi untuk membangun kesadaran kolektif untuk bekerja dan produktif.

Padahal makna “kebersamaan” dan “kekeluargaan” diartikan sebagai makna demokrasi ekonomi. Dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945 dinyatakan, demokrasi ekonomi ditandai oleh, “dilakukannya produksi oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat”. Mubyarto (2003) menyebutkan, dalam rangka demokrasi ekonomi, semua anggota masyarakat harus turut serta dalam melakukan produksi, turut menikmati hasil-hasilnya, dan yang lebih penting, turut serta dalam mengendalikan berlangsungnya proses produksi dan distribusi. Tidak heran, sejak jauh-jauh hari Bung Hatta mewanti-wanti bahwa, “demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi hanya akan menyebabkan berjayanya kepentingan individu di atas kepentingan orang banyak”.

Desain Kelembagaan

Kemubaziran anggaran negara untuk proyek penanggulangan kemiskinan, terutama pada era SBY-JK lebih bertitik tolak pada lemahnya desain kelembagaan operasional. Justru yang terjadi, seiring dengan proyek penanggulangan kemiskinan yang berwajah “sosialis”, di sisi lain wajah “kapitalis” yang neoliberalistik masih tampak bercokol kuat dalam pemerintahan. Sehingga yang tampak, kebijakan ekonomi berjalan tanpa ideologi demokrasi ekonomi, dan yang muncul kemudian paradigma ekonomi tanpa “jenis kelamin” (tanpa identitas).

Kontradiksi terus berlangsung. Misalnya, beriringan proyek kerakyatan, diagendakan pula bagaimana melakukan privatisasi secara massal BUMN. Pilihan pahit pemerintah untuk mendongkrak harga BBM, jelas merupakan respon bahwa pemerintah “tergagap-gagap” menghadapi kekuatan asing dalam menguasai sumberdaya perminyakan dan gas nasional. Pelaku minyak nasional, sebagai misal, ternyata dikuasai oleh hampir semuanya perusahaan asing. Ini menunjukkan, kedaulatan pengelolaan minyak nasional saja selama puluhan tahun Indonesia tidak sanggup. Pertamina sebagai BUMN terbesar hanya sebagai “macomblang” dari perusahaan asing yang memegang kontrak karya puluhan tahun yang kerapkali mengelambungkan cost recovery.

Dengan data konkret itu, kedaulatan ekonomi nasional sudah tergadai ke pihak asing. Percuma adanya kebijakan subsidi, proteksi dan segala macam proyek penanggulangan kemiskinan, jika identitas ekonomi nasional diserahkan ke pihak kekuatan modal asing. Artinya, Indonesia akan tetap menjadi budak belian di negeri sendiri yang melimpah kekayaan alamnya. Untuk tidak terus menerus berbuat mubazir dalam program penanggulangan kemiskinan, alangkah idealnya, jika, pertama, melakukan negosiasi ulang, bahkan kalau bisa membatalkan berbagai kontrak karya asing yang terus menerus memenjarakan dan merugikan kepentingan ekonomi nasional. Minyak bumi Indonesia dibawa pergi oleh kekuatan modal asing, sementara kita terus menerus impor minyak yang mahal. Dalam teori ekonomi strukturalis diistilahkan sebagai proses berlangsungnya posisi ekspor dan net resources inflow yang negatif. Tentu kebijakan ini harus sejalan dengan ketegasan pemerintah untuk melakukan moratorium debt, karena lebih banyak menguntungkan pihak asing alias terjadi net transfer.

Kedua, dalam konteks mempertegas identitas ekonomi nasional, diperlukan desain kelembagaan ekonomi kerakyatan sehingga dana-dana “proyek” kemiskinan tidak mubazir. Kelembagaan yang penting, intinya adalah, melibatkan rakyat berpartisipasi sehingga terwujud rasa “kebersaamaan” dan “kekeluargaan”. Beri kesempatan rakyat mengatur dananya dalam bentuk arisan ataukah dalam bentuk revolving fund yang terlembaga yang disertai aturan dan sanksi yang jelas dan dibuat oleh rakyat sendiri.
Tidak usah pemerintah terlalu ambisius menggelontorkan dana puluhan triluan rupiah sementara rakyat belum siap melembagakan dirinya. Oleh karena itu, perlu prakondisi dengan melakukan pendampingan dan penyadaran tentang arti kelembagaan ekonomi, seperti bagaimana mengelola koperasi rakyat, sistem jimpitan, lumbung padi, arisan, lembaga keuangan mikro, BMT, dan lainnya. Tumbuhkan kembali semangat kebersamaan dan keluargaan sehingga saling percaya di antara masyarakat kembali tumbuh dengan mozaik yang indah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar