Rabu, 07 Januari 2009

INDUSTRIALISASI DAN EKSPLOITASI ASING

Proses industrialisasi di Indonesia seperti yang banyak terjadi di dunia ketiga, jelas adalah proses industrialisasi berdasarkan pola Barat yang tidak berlandaskan realitas-realitas sosial yang ada di Indonesia. Proses ini dengan sifatnya yang tergantung kepada masukan impor, telah membuka pase dan bentuk baru dalam sector “enclave” di Indonesia, yaitu sector ekonomi yang pada hakekatnya “terasing” dari kehidupan massa rakyat. Keterasingan ini dapat dilihat dari penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan mereka (dilihat dari porsi jumlah golongan pendapatan tinggi, industri-industri moderen ini lebih melayani kebutuhan golongan pendapatan tinggi), maupun dari segi penyebaran, ketrampilan yang dapat menimbulkan mibilitas sosial.
Dalam proses pembinaan dan perluasan “enclave” baru ini melalui industrilisasi, ada pandangan yang melihat proses ekonomi Indonesia sebagai lanjutan dari proses yang sudah di bina oleh pemerintah kolonial Belanda melalui pelaksanaan Cultuurstelsel (tanam paksa) dan pengarahan modal swasta Belanda dan asing lainnya dalam sector perkebunan komoditi primer dan pertambangan yang merupakan dua bentuk “enclave” dalam zaman penjajahan Belanda. Culutuurstelsel telah membina secara paksa pembentukan sector perkebunan tanaman ekspor yang merupakan pase pertama proses pembentukan secara sistematis sector “enclave” di Indonesia. Perluasan perkebunan besar di Jawa dan Sumatera Timur sesudah Cultuurstelsel berakhir, adalah pase kedua.
Selanjutnya muncul proses industrialisasi yang sangat bergantung kepada impor dalam masukan produksinya, serta proses yang lebih intensif dalam eksploitasi sumber-sumber alam, yang merupakan ciri pokok dari pase ketiga pembentukan sector enclave di Indonesia. Pase ketiga ini selain merupakan lanjutan dari pase-pase sebelumnya yang dipelopori oleh bangsa Indonesia sendiri untuk membedakannya dari pase-pase sebelumnya yang dipelopori oleh bangsa asing. Sejarah ekonomi Indonesia sampai saat sekarang ini, dalam pandangan ini, boleh dikatakan merupakan sejarah pertumbuhan sector enclave dan belum merupakan pertumbuhan ekonomi massa rakyat. Strategi dan rangkaian kebijaksanaan ekonomi yang dianut dan di jalankan pada kenyataannya adalah strategi dan rangkaian kebijaksanaan ekonomi yang memperkuat keseluruhan sector enclave ini.
Sektor enclave yang disebut di atas, berorientasi ke luar negeri ditinjau dari sudut masukan dan permintaan untuk eksploitasi bahan mentah dan energi. Ia berorientasi pula kepada luar negeri di dalam pola produksi dan tata niaga, yang khususnya menopang pemasaran hasil industri dan pertumbuhan ekonomi dan gaya hidup masyarakat negara maju. Pembentukan sector enclave ini, serta upaya untuk menumbuhkan sector ini kemudian, dilakukan dengan cara pembiayaan dari luar negeri. Ia berupa investasi asing secara langsung maupun berupa pinjaman luar negeri untuk membiayai prasarana bagi memudahkan dan menopong pertumbuhan sector-sektor ini. Perkembangan yang terjadi di Indonesia, adalah seperti yang telah dialami pula oleh banyak negara-negara Dunia Ketiga, yakni:

1. Disparitas pendapatan di antara sector moderen di mana sebagian kecil rakyat berada dengan sector pertanian tradisional dimana sebagian besar rakyat berada dan menggantungkan hidupnya, menjadi bertambah lebar. Ketidak merataan dalam distribusi pendapatanpun berambah lebar bersama dengan tersisihnya sebagian rakyat dari proses pembangunan dalam pengertian mereka tidak turut dalam proses dan menikmati hasil pertumbuhan ekonomi.
2. Oleh karena system produksi di sector-sektor enclave yang telah dijadikan sebagai leading sectors bersifat padat modal, maka surplus tenaga kerja yang terdapat di sector pertanian tradisional tidak dapat di tampung secara berarti apabila setelah memperhatikan matinya banyak industri rakyat sebagai akibat dinamik industrialisasi di sector moderen. Porsi nilai tambah sector pertanian dalam Produk Domestik Bruto atau Produk Nasional Bruto yang kemudian menurun tidaklah dapat dikatakan sebagai pertanda “transformasi” dalam struktur ekonomi seperti yang dimaksudkan dalam literatur ekonomi pembangunan oleh karena situasi ini tidak diikuti oleh menaiknya produktivitas per pekerja di sector pertanian dan juga tidak diikuti dengan adanya suatu mobilitas sosial yang dialami oleh para pekerja yang setempat tertampung dalam sector industri. Masalah ini terjadi, karena pada hakekatnya mereka ditampung dalam apa yang disebut secondary labour market (pasar tenaga kerja yang sekunder) yaitu pasar tenaga kerja denga upah yang rendah, ketrampilan yang rendah dan prospek karier yang tidak menentu. Ini sejajar dengan salah satu motif bagi masuknya modal asing untuk tujuan investasi di sector industri yaitu untuk memperoleh buruh murah.

Peranan pembiayaan luar negeri baik yang berupa modal asing untuk tujuan investasi langsung maupun pinjaman luar negeri adalah untuk menutupi foreign exchage gap yang didasarkan kepada two gap model yang telah disodorkan oleh beberapa sarjana ekonomi Barat. Dalam hal ini, maka keseluruhan modal luar negeri ini telah berfungsi untuk membiayai surplus impor dalam perkiraan yang sedang berjalan (current account) dalam neraca pembayaran.
Dalam situasi peranan yang seperti ini, maka Indonesia sengaja maupun tidak, telah membuka secara luas kesempatan bagi pihak asing untuk melaksakan operasi monopoly price, yaitu penentuan harga secara sepihak sehingga defisit dalam perkiraan yang sedang berjalan dalam neraca pembayaran berlangsung terus-menerus, yang mengakibatkan perlunya Indonesia untuk menambah hutang secara terus menerus pula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar