Rabu, 07 Januari 2009

VOC GAYA BARU

Dalam bukunya “Mencapai Indonesia Merdeka (Terbitan Idayu, 1982, hal. 15), Bung Karno memaparkan, bahwa imprealisme dilahirkan oleh kapitalisme. Imprealisme adalah anaknya kapitalisme. Imprealisme tua dilahirkan oleh kapitalisme tua, imprealisme modern dilahirkan oleh kapitalisme modern. Sedang kapitalisme tua belum kenal akan tempat-tempat pekerjaan sebagai sekarang, belum kenal pabrik-pabrik sebagai sekarang, belum kenal cara produksi sebagai sekarang, -- sedang kapitalisme tua itu cara produksinya hanya kecil-kecilan sahaja dan di dalam segala-galanya berwatak kuno, maka kapitalisme modern adalah menunjukkan kemoderenan yang hebat sekali; tempat-tempat pekerjaan yang ramainya menulikan telinga, pabrik-pabrik yang asapnya menggelapkan angkasa, bank-bank yang tingginya mencakar langit, perburuhan yang memakai ribuan ketian kaum proletar, pembikinan barang yang tidak lagi menurut banyaknya pesanan, tetapi pembikinan barang yang hantam kromo banyaknya sampai bergudang-gudang.

Bung Karno menambahkan, bahwa untuk menggugurkan stelsel kapitalisme dan imprealisme, syarat pertama ialah, kita harus merdeka. Selama masyarakat belum merdeka, selama itu juga kita belum leluasa menggerakkan kita punya badan, kita punya tangan, kita punya kaki, selama kita dus masih terhalang di dalam segala kita punya gerak bangkit.

Cukup jelas bahwa kemandirian – dalam bahasa perjuangan Bung Karno disebut kemerdekaan – merupakan prasyarakat untuk keluar dari ketergantungan imprealisme baru pihak asing. Kemandirian akan membuat bangsa memiliki kepercayaan diri dalam berinteraksi dengan pihak manapun. Kekuatan tawar menawar kita akan sangat diperhitungkan. Bangsa yang kerdil adalah bangsa yang suka dimain-mainkan oleh berbagai kekuatan asing, yang ujung-ujungnya akan mengeksploitasi bangsa. Besarya utang luar negeri kita misalnya, merupakan instrumen untuk mengutak-atik eksistensi bangsa yang berdaulat.

Utang luar negeri yang besar, selain memerosotkan kemandirian bangsa, juga merupakan bentuk penghisapan yang bisa dilihat pada besarnya net transfer. Net transfer yaitu persoalan yang timbul akibat negative inflow sumber-sumber keuangan oleh karena nilai cicilan plus bunga utang luar negeri lebih besar dari nilai utang baru yang diterima pihak donatur. Selain itu telah terjadi pula proses merosotnya nilai satuan (unit value) dan nilai tukar (terms of trade) produk-produk ekspor dari negara berkembang. Inilah yang dikenal sebutan fenomena Fisher Paradox.

Konsekuensi dari penghisapan surplus ini menimbulkan efek negatif terhadap tingkat tabungan di dalam negeri, karena utang luar negeri akan mensubstitusikan tabungan domestik (domestic saving). Kalaupun tidak, maka pemerintah akan mengintensifkan penerimaan pajak, dan jelas berkonsekuensi terhambatnya kegiatan investasi, dan menyebabkan pelarian modal kembali. Lebih jauh, dengan pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri akan mengalihkan dana yang dapat digunakan sebagai investasi domestik akibat pembayaran kembali. Muaranya adalah, roda perekonomian nasional tetap tidak bisa bergerak karena dana habis dikuras, dan ini berarti merupakan jebakan (debt-trap) yang tidak berujung.

Ketergantungan yang sedemikian besar akan membuat bangsa kita tidak bebas bergerak. Semuanya ditentukan oleh “kemauan baik” pihak asing. Banyak bukti menunjukkan bahwa, bangsa Indonesia bertekuk-lutut pada kepentingan asing yang berarti segala-galanya ditentukan oleh asing. Imam bangsa bukan siapa-siapa, tapi bangsa asing yang menentukan rukuk-sujudnya bangsa kita. Itulah yang sangat mengerikan.

Selain itu hubungan ketergantungan terhadap pihak asing telah pula menghasilkan keputusan untuk menerapkan teknologi produksi yang tidak berorientasi kepada penciptaan kesempatan kerja. Sementara itu di sektor pertanian sesungguhnya tersedia secara berlimpah tenaga kerja yang sudah berakumulasi jumlahnya akibat kurangnya penyerapan yang memadai pada masa yang lampau, dibanding bertambahnya angkatan kerja di sektor itu setiap tahunnya. Masuknya teknologi produksi yang tidak pro buruh tersebut ke dalam program pembangunan pertanian, memang telah mampu menaikkan hasil pertanian, khususnya beras. Namun, bersama dengan itu telah terjadi pula pengalihan surplus ekonomi kepada produsen mesin dan alat-alat pertanian di negara maju, produsen pupuk kimia pestisida di dalam maupun luar negeri, serta distributor pupuk dan pestisida. Surplus ekonomi diperkirakan diperoleh pula oleh para birokrat, perbankan, pelaksanaan lapangan, tuan tanah -- sebagai komprador dan aliansi pihak asing --, yang kesemuanya ikut secara langsung mengantarkan dan melaksanakan produksi yang tidak pro buruh ini di sektor pertanian tradisional.

Dalam perkembangan mutakhir sekarang ini, imprealisme baru muncul lagi dalam wajah baru, yakni dalam bentuk revolusi teknologi informasi. Besarnya perang pihak negara-negara maju dalam dunia teknologi informasi ini akan bisa mengontrol dan menguasai sumberdaya-sumberdaya potensial di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Revolusi teknologi informasi telah menciptakan disparitas sosial, yang memungkinkan mereka yang memonopli revolusi teknologi informasi akan mudah mendominasi negara-negara miskin.

Mukhaer Pakkanna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar